(Cerpen) Hati Manusia

Hidung Jea merah. Aravis tahu pasti alasan hidung Jea merah, jika tidak marah ya sedih. Umpatan yang ditahan dan juga tangis yang ditahan, membuat hidungnya merah. Keningnya ditekuk dan raut wajahnya berantakkan. Kata Summer sih, gak nyeni.

“Kenapa?” Aravis mulai bertanya.

“Jea bingung, Aravis.” kata Jea, keningnya masih berkerut.

“Bingung? Bukannya lagi diantara marah dan sedih?” Aravis mulai sok tahu.

“Kok tahu?” Jea malah kaget karena Aravis tahu pasti apa yang sedang ia rasakan.

“Emangnya kita baru kenal.” kata Aravis kesal. Jea selalu begitu. Tidak peka terhadap apapun. Menyadari sudah berapa lama mereka berteman, bersahabat, dan tahu tabiat masing-masing saja ia tidak sadar.

“Hehe.” Jea menyeringai, sangat khas dirinya. Seringaian tidak jelasnya itu selalu bisa membuat kekesalan Aravis dan Summer turun tingkat, bahkan naik tingkat. Beruntung kali ini seringaian Jea membuat kekesalan Aravis turun tingkat.

“Ayo cerita.” kata Aravis yang kini sudah tersenyum lagi.

Jea mengangguk “Jea bingung. Kenapa banyak orang yang selalu berbuat seenak mereka tanpa memikirkan orang lain...”

“Ah pasti kena tindas lagi, nih.” Aravis memotong cerita Jea yang bahkan belum seperempatnya. Ia memang selalu naik darah jika sudah berhubungan dengan penindasan terhadap Jea.

Jea temannya itu, selalu jadi korban penindasan. Entah karena Jea terlalu baik atau terlalu bodoh, Jea selalu saja jadi orang yang dirugikan dan dimanfaatkan. Ia adalah orang yang pertama dilupakan dan terakhir diingat—oleh orang lain. Tapi Aravis dan Summer memperlakukannya berbeda. Mereka menyayangi Jea dan memperlakukannya dengan baik. Mungkin karena Jea sangat mengingatkan mereka pada diri mereka yang dulu, yang lemah, kuper, selalu diinjak-injak, dan semua hal menyedihkan lainnya. Tapi Jea, ia sabar dan tidak berubah seperti Aravis dan Summer. Ia tetap mencoba menjadi orang baik. Mungkin bisa dibilang bahwa persamaan itu yang membuat Jea, Aravis, dan Summer berteman. Teman yang saling mengerti. Teman yang saling menyayangi. Teman yang saling menghargai. Barangkali, diridhoi juga.

“Hehe..” Jea menyeringai lagi “Tadi Jea di bis duduk kan. Orang yang ada di kursi udah pas kan, tapi ada ibu-ibu yang seret-seret Jea biar anaknya yang udah gede bisa duduk. Padahal tadinya anak itu gak mau duduk deket ibunya. Kan sebel. Jea jadi sedikit sesak. Tahu sendiri kan Jea suka sesak kalo banyak orang. Apalagi ini kursi di bis.” Jea menatap tanah kali ini, tersenyum lebar “sepele yah, tapi Jea merasa terganggu. Rasanya menghargai itu cuma kata aja.”

“Itulah manusia kebanyakan, Jea. Tidak pernah memikirkan orang lain, sedikit aja. Mungkin ibu itu pikir karena tubuh Jea kecil, jadi gak apa-apa Jea diseret. Dia gak memikirkan apa orang yang diseretnya itu punya penyakit bengek apa nggak. Haha.” Aravis mengatakan apa adanya sambil tertawa pendek. Jea juga ikut tertawa.

“Jea, coba kamu mati dulu karena kehabisan napas, pasti ibu itu bisa sadar dan tahu apa itu menghargai orang lain.” Aravis tersenyum miring. Ia kelihatan jahat sekali, tapi Jea tahu Aravis tak pernah berniat jahat padanya.

“Haha. Kebanyakan orang sadar jika kematian udah tiba ya.” Jea tersenyum, matanya menerawang langit yang penuh dengan gumpalan awan “kayak pembully yang sadar kesalahannya saat korbannya bunuh diri.”

“Iya kalo sadar.” Aravis mendengus. Ia jijik dengan semua ke-asshole-an di muka bumi ini. Baginya, penyakit-penyakit manusia di jaman ini sangat sulit diobati karena orang-orang yang mengidap penyakit asshole ini rata-rata tidak tahu diri dan tidak ingin tahu penderitaan apa yang dialami orang lain karenanya.

“Harusnya Jea gak boleh marah ya. Kan Allah tadi ngasih lihat kasih sayang seorang ibu ke anaknya. Ibu itu secara tidak sadar tidak menghargai orang lain agar anaknya bisa duduk di sebelahnya. Jea lagi diajarin biar lebih menyayangi orang tua Jea. Iya kan, Aravis?” kata Jea.

“Hu-um.” respon Aravis singkat. Ia tidak mau berkomentar banyak mengenai hubungan anak-orangtua karena hubungannya sendiri dengan orang tuanya tidak bisa dibilang cukup baik. “Jadi sekarang marahnya udah hilang?” Aravis kembali bertanya.

“Belum. Jea masih benci dan sedih banyak orang yang gak peduli. Rasanya kita semua gak memenuhi syarat jadi manusia. Iya, termasuk Jea sama Aravis.” kata Jea serius. Hidungnya masih sedikit merah.

“Aku sih terima dibilang gitu. Tapi kenapa Jea juga termasuk?” Aravis penasaran dengan jawaban Jea. Mata hitamnya membesar, memandang Jea serius. Telinganya pun sudah di aktifkan menjadi mode dengar-suara-Jea.

“Karena Jea masih marah sama perbuatan ibu yang sayang sama anaknya tadi, Aravis. Kan kotor banget hati ini. Susah ya jadi orang yang bersih hatinya.” kata Jea frustasi.


“Yuk, berusaha jadi orang yang hatinya bersih.” Aravis tersenyum lebar, Jea menyambutnya dengan seringaian.

Komentar

Postingan Populer