Speak Now

Wellllllllllllllllllllll x) Udah seabad lebih gak ngurusin Blog :') Kasian banget sih, terlupakan hihi :)
Sekarang aku datang bawa cerita. Cerita ini terinspirasi dari lagu "Speak Now" milik Taylor Swift. Bahkan mungkin ceritanya sama kayak di lagunya.... Yaudah deh... Enjoy the story.. Happy reading...
Ditunggu komentar, saran, cacian, makian, dan lain-lain xD

***

            “Aku akan menikah.” kata pria berambut pirang, Connor.
            “Apa?” aku kaget bukan main. Connor, pria berambut brunette itu, pria yang aku cintai akan menikah dengan gadis lain.
            “Maafkan aku, Anna. Aku tidak bisa menolak kemauan orang tuaku dan juga orang tua Paris.” sesal Connor.
            Pandanganku mulai buram. Air mata keluar dari mataku. Meluncur deras menuruni pipiku. Connor mencoba menyekanya, tetapi aku menghalaunya. Kudorong lengan Connor menjauh dari wajahku. Raut wajah Connor berubah sedih.
            “Maafkan aku, Anna. Jika ada yang bisa kulakukan untuk menghentikan semua ini, aku pasti akan melakukan hal itu.” kata Connor.
            Aku berpikir cukup lama. Mencari-cari cara agar Connor tidak menikah dengan Paris. Aku benar-benar tidak mau Connor menikah dengan Paris. Paris adalah gadis yang tidak tepat untuknya. Ia juga tidak mengenal Connor sebaik aku. Dan aku juga yakin bahwa cintaku pada Connor lebih besar darinya.
            Jika saja keluarga Paris tidak berkunjung ke rumah keluarga Connor musim dingin lalu, semua ini tidak akan terjadi. Jika saja Connor saat itu tidak ada di rumahnya, semua ini tidak akan terjadi. Arrggghh…. Aku sungguh murka pada seorang Paris! Ia menghancurkan segalanya dalam sekejap mata.
            Bagaimana caranya? Bagaimana cara agar Connor tetap denganku? Aku sangat bingung memikirkan cara agar Connor tidak menikah dengan Paris. Semua hal seolah lenyap dari otakku seiring hampir hilangnya Connor. Yang bisa kupikirkan hanyalah Connor, Paris, pernikahan, gereja, gaun putih yang mewah, bunga yang indah, pendeta, dan Connor yang akan berkata “Aku bersedia”. Semua itu terasa begitu…. Menyakitkan.
            “Anne? Kau baik-baik saja?” tanya Connor hati-hati.
            “Kau pikir aku baik-baik saja?” isakku “bagaimana semuanya bisa baik-baik saja sementara kau akan menikah dengan gadis itu?”
            “Aku tidak bermaksud…” Connor tidak sempat menyelesaikan kalimatnya karena aku memotongnya.
            “Bagaimana semuanya bisa baik-baik saja sementara aku nanti akan melihat pria yang kucintai menikah dengan gadis lain didepan mataku. Aku akan mendengar kau berkata ‘Aku bersedia’ lalu kehilangan kau selamanya, Connor! Bagaimana bisa aku baik-baik saja?” aku berteriak pada Connor.
            Connor menundukan kepalanya. Membiarkan mata hijaunya tak terlihat olehku. Ia tidak marah padaku karena aku berteriak padanya. Ia tahu sendiri alasannya –tentu saja. Aku tidak bermaksud berteriak kepada Connor, aku hanya…. Aku hanya emosi… aku hanya tidak siap saat ia nanti mengatakan “Aku bersedia” dan semuanya akan hancur.
            “Maafkan aku Connor.. aku tidak bermaksud berteriak, aku hanya tidak siap saat semua itu terjadi.” kataku meminta maaf.
            “Oh.. never mind…” kata Connor tersenyum. Ia lalu menghapus air mataku dan memelukku. Rasanya sungguh nyaman ada didekat Connor. Ia hangat dan aroma tubuhnya harum buah apel.
            “Jika ada sesuatu yang bisa kau lakukan untuk menghentikan semua ini, apakah kau mau melakukannya Connor?” kataku mulai tenang. Aku menyandarkan kepalaku ke dada Connor yang bidang sambil memeluknya. Connor tertawa kecil, lalu mencium puncak kepalaku.
            “Tentu…” kata Connor mantap.
            “Janji??” aku mengangkat kepalaku dan tersenyum ke arahnya.
            “Janji.” Connor tersenyum. Jawaban Connor cukup membuat hatiku tenang.
            Aku kembali menyandarkan kepalaku ke dada Connor. Aku ingin menghabiskan waktuku didekatnya, menghirup aroma tubuhnya yang segar, dan merasakan detak jantungnya. aku pikir ini mungkin terakhir kalinya aku bisa berada disisinya.
            Semua bayangan tentang pernikahan itu tiba-tiba lenyap, kecuali satu hal. Satu hal mengenai ‘Aku bersedia’. Bagaimana jika Connor berkata ‘Aku tidak bersedia’? semua akan beres kan?. Ide gila mulai datang ke pikiranku. Ini sungguh ide yang sangat gila. Tapi aku tidak peduli, aku hanya ingin Connor-ku hidup bersamaku.
            “Connor, aku tau caranya…” kataku bersemangat, aku melepaskan tangan Connor dari punggungku “Kau hanya perlu berkata aku tidak bersedia setelah itu pergilah ke gerbang belakang, temui aku disana.”
            “Kau gila? Ayahku akan membunuhku.” kata Connor kaget.
            “Kau bilang akan lakukan apapun..” suaraku melemah, aku menjauh dari Connor “kau sudah berjanji.”
            Aku langsung berlari menuruni bukit. Secepat mungkin sampai Connor tidak bisa menyusulku. Tapi aku terlalu cepat sampai aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku jatuh berguling-guling, kurasakan sakit di sekujur tubuhku. Sebelum semua menjadi hitam, aku bisa mendengar sayup-sayup suara Connor memanggil namaku.

***
            Dinginnya pagi membangunkanku. Aku melihat ke sekelilingku. Tempat tidur merah, lampu tidur berbentuk bintang yang menyala, gorden perak berkilauan, ini kamarku. kurasa Connor yang mengantarku ke rumah atau tubuhku yang terbang sendiri saat pingsan –itu suatu kemungkinan.
            Aku ingat hari ini, hari ini hari pernikahan Connor. Sungguh menyedihkan hal inilah yang pertama kali aku ingat saat aku tersadar dari pingsanku. Aku menyeret tubuhku ke kamar mandi, tak memperdulikan memar-memar kecil di beberapa bagian tubuhku. Aku hanya ingin datang ke pernikahan Connor, tak peduli hatiku yang akan hancur. Aku hanya ingin melihat Connor-ku untuk yang terakhir kalinya.
            Aku mengenakan gaun biru muda ke pernikahan Connor. Gaun biru yang diberikan Connor padaku saat natal. Setelah siap, aku pergi ke salah satu gereja di kota. Tidak butuh waktu yang lama untuk sampai disana.
            Aku melihat banyak orang masuk ke gereja, tentu saja. Orang-orang memakai pakaian terbaik mereka. Mereka terlihat cantik dan tampan di keramaian. Aku memasuki gereja dan duduk di bagian paling belakang.
            Tak lama, acara pernikahan segera dimulai. Di depan sana bisa kulihat Connor. Ia memakai jas hitam dan ia terlihat sangat tampan. Ia sedang menunggu Paris di altar untuk mengucapkan janji sehidup semati. Ia juga melihatku dan tersenyum kecut ke arahku. Aku tidak membalas senyuman Connor karena perhatianku tertuju pada orang-orang yang melihat ke arah pintu.
            Ah… Sang pengantin ternyata sudah tiba. Paris Katherine Kayne, ia sudah tiba. Ia terlihat sangat cantik. Gaun putihnya elegan dan ekor gaunnya yang panjang menyapu jalanan menuju altar. Rambut pirangnya yang panjang dibiarkan tergerai dengan indah. Di kepalanya, ia mengenakan mahkota emas kecil yang terlihat manis. Paris juga memakai make-up yang natural. Ia sungguh terlihat seperti seorang puteri. Semua mata yang ada disini hanya tertuju padanya. Oh… disisi Paris terdapat adiknya, Bella.
            Aku mengalihkan pandanganku pada Connor. Ia tersenyum melihat Paris datang lalu memandang ke arahku dengan sedih. Aku tau pasti Connor berharap gadis bergaun putih itu adalah aku. Aku tau, dia pasti berharap aku-lah yang berjalan menuju ke altar. Mengucap janji sehidup semati denganku. Hidup bahagia bersamaku sampai maut menjemput.
            Musik mulai melayang di udara. Itu terdengar seperti suara music kematian bagiku. Connor-ku akan menikah sebentar lagi. Sebentar lagi saat Paris sampai di altar. Aku harap ekor gaun itu terlalu berat untuk Paris sehingga ia tidak bisa melangkah lagi mendekati Connor-ku. Tapi aku tak tau kenapa, gaun Paris terlihat ringan. Ia sudah ada di altar, tangannya menyatu dengan tangan Connor. Pendeta membacakan sesuatu yang aku sendiri tidak mau mendengarnya.
            Melihat Connor-ku disana, berpegangan tangan dengan Paris rasanya sangat menyakitkan. Aku berharap gereja ini runtuh lalu membunuh semua orang. Tapi tidak, kenyataan sangat menyakitkan. Aku menahan diriku beberapa saat, tapi aku tidak bisa menahan diriku. Aku berdiri dan menghentakkan kakiku. Semua mata kini tertuju padaku, tapi aku tidak menghiraukannya. Aku hanya melihat ke arah Connor, ke arah mata hijaunya.
            “Connor! Don’t say yes! Please… you promised.” Aku berteriak pada Connor. Pandanganku buram oleh air mata.
            Semua orang memandangku tajam. Connor juga memandangku, lalu menundukkan kepalanya. Aku tau ia sedang bingung. Paris, ia terlihat sangat kaget dan menggenggam tangan Connor lebih erat seolah berkata tolong jangan tinggalkan aku. Connor memandang sendu Paris. Connor tak juga berkata-kata, aku menyerah lalu keluar dari gereja. Aku tak bisa harus melihat Connor memilih Paris daripada aku.
            Aku bersiap memberhentikan taksi didepan gerbang gereja. Aku berniat pulang lalu pergi dari kota ini. Meninggalkan semuanya, meninggalkan Connor-ku pada Paris. Aku melihat sekali lagi ke arah gereja, mengingat Connor-ku untuk yang terakhir kalinya. Tapi aku melihat hal yang lebih baik. Aku melihat Connor! Connor-ku! Ia keluar dari gereja! Ia berlari mengejarku!
            “Tolong jangan pergi..” Connor meraih tanganku, lalu memelukku “Tolong Anne, I didn’t say yes… I love you..” kata Connor masih memelukku.
            Aku tidak percaya. Connor-ku memilih aku. Connor-ku memilih malu dan hidup bersamaku. Ia sungguh disini, memelukku erat. Aku bisa merasakan aroma tubuhnya.
            “I love you, too.” kataku bergetar. Connor menghapus air mataku dan memelukku.
            “Ayo kita pergi dari kota ini. Kita akan menikah dan hidup bahagia di kota lain.” ajak Connor. Ia pun membukakan pintu taksi lalu menyuruhku masuk. Connor juga ikut masuk.
            Kami pergi ke rumah Connor untuk mengambil pakaiannya lalu ke rumah ku. setelah itu kami pergi ke luar kota memakai taksi. Kami pergi ke suatu kota yang berdekatan dengan pantai. Hari berikutnya, aku dan Connor menikah di gereja dekat pantai.
            Hari berikutnya dan berikutnya, semua terasa sangat indah. Aku sangat bahagia bisa hidup bersama Connor. Aku sangat bahagia hingga beberapa bulan kemudian kami mengalami kecelakaan mobil yang menewaskan Connor.
            Semua kini terasa buruk. Orangtua Connor mendatangiku dan mencaci makiku. Mereka membenciku, mereka berkata Connor tidak akan mati jika ia tidak pergi denganku. Aku tau aku salah, Aku menghancurkan pesta pernikahan, membuat orangtua Connor malu. Aku sungguh egois.
            Orangtua Connor memberitahu semuanya padaku. sebenarnya Paris sakit parah dan tidak akan hidup lebih lama lagi. Orangtua Paris berkunjung untuk meminta menikahkan Connor dan Paris karena Paris menyukai Connor dan itu adalah keinginan terakhirnya sebelum ia mati. Awalnya orangtua Connor menolak karena mereka tau Connor telah bersamaku. Tapi karena mengingat waktu Paris tidak banyak, mereka menyetujuinya. Dengan alasan aku bisa menikah dengan Connor saat paris meninggal kelak.
            Mereka juga tidak memberitahukan hal ini pada Connor karena Paris meminta untuk tidak memberitahukan penyakitnya pada siapapun. Sekarang semuanya terlambat. Paris sudah meninggal 1 minggu setelah pernikahannya gagal. Connor-ku juga sudah meninggal.
            Semua kesalahanku ini terus menghantuiku. Aku tidak bisa menghindari kenyataan bahwa aku yang membuat segalanya hancur. Jika aku membiarkan Connor menikah dengan Paris, mungkin Paris bisa pergi dengan tenang dan Connor masih ada disini.
            Tapi penyesalan tidak berguna. Aku tidak bisa mengubah masa lalu. Kini aku hanya mencoba belajar dari kesalahan. Aku membiarkan semuanya mengalir bagai air. Membiarkan kehidupan mengalir seperti air. Membiarkan diriku sendiri hanyut dalam takdir yang telah digariskan padaku. Aku hanya menerima semuanya dengan lapang dada.

           
THE END 


Komentar

Postingan Populer