Cerpen : Warisan

Warisan
Oleh : Dina Juwita

“Kamu pikir kenapa aku memanggilmu kesini?” tanya lelaki jahat itu.
“Aku tidak tahu” aku pura-pura terdengar tidak peduli “mungkin kau akan membunuhku.”
Lelaki jahat itu tertawa keras.
“Lucu sekali. Aku tidak usah repot-repot memanggilmu kemari jika ingin membunuhmu. Kau tahu itu, Karen.” Ia berbicara lagi, kali ini dengan nada yang sombong. Aargh! Aku sangat muak mendengar suaranya. Jika bukan karena diculik seperti ini, aku tidak pernah sudi bertemu dengannya.
“Langsung bicara saja. Cepat! Aku tidak punya banyak waktu untuk orang sepertimu.” Ucapku sinis, ingin segera keluar dari penderitaan melihat wajahnya yang sombong.
“Karen, karen, karen. Kau tidak boleh berkata begitu padaku….” ia menyeringai “nanti kau tidak mendapatkan warisan ayahmu.”
“Aku tidak butuh warisan itu. Ambilah jika kau mau. Kau…..” aku melihatnya dari ujung kaki hingga kepala “kau…. Kelihatannya sangat membutuhkan warisan itu. Ambilah.”
Lelaki itu tetap terlihat tenang. Ia mungkin mencoba setengah mati agar tidak menunjukkan amarahnya. Jika tidak tertahan, habislah sudah harga dirinya. Ia terlihat sekali sangat membutuhkan harta peninggalan ayahku yang cukup untuk memenuhi kebutuhanku hingga kelak akan masuk ke liang lahat. Ambil saja. Aku tidak peduli. Sungguh.
“Karen-ku sayang….” Ia kembali menyeringai, sangat menjijikan “kau tahu sendiri harta ini adalah untukmu juga. Tanda tangani surat ini dan kau akan terbebas dari beban uang-uangmu.” Lelaki itu lalu tertawa keras.
Ha, sudah kuduga lelaki serakah itu akan melakukan hal ini. kenapa ia repot-repot membawaku kemari untuk menandatangani surat persetujuan penyerahan warisan ayahku padanya. Diculik pula. Kenapa ia tidak mengirim ajudannya agar aku tidak repot-repot melihat wajah lelaki serakah ini. Tanpa dipaksa seperti ini pun aku sudi memberikan kepadanya seluruh warisan peninggalan ayah. Aku sungguh muak melihat bagaimana uang membuat orang-orang gelap mata dan kini aku sangat tidak suka dilimpahi harta yang begitu banyaknya. Bisa-bisa aku tergelincir jatuh ke kegelapan. Persis seperti mereka, terlebih lagi lelaki serakah yang tidak lain adalah pamanku sendiri. Sungguh kasihan.
Mungkin kau akan menyangka aku orang gila. Siapa orang yang di dunia ini tidak butuh uang? Siapa orang di dunia ini yang tidak menyukai uang? Tuan-tuan dan nyonya-nyonya, aku adalah orang gila. Aku bukannya tidak butuh uang ataupun tidak suka uang. Aku tentu saja butuh uang untuk membeli makanan sebagai penyambung hidupku dan tentu saja aku suka uang. Dengan uang, aku bisa membeli buku-buku kesukaanku. Aku hanya tidak suka betapa uang seolah-olah menjadi segala-galanya di dunia ini. membenci bagaimana banyak orang yang menuhankan uang. Aku benci. Aku benci. Dan…..aku takut. Takut menjadi orang yang menuhankan uang.
“Cepat!” gertak Dave, orang kepercayaan pamanku. Menyadarkanku dari lamunan uang.
“Tuan-tuan terhormat, bagaimana aku bisa menandatangani surat ini jika kalian belum melepaskan tali di tanganku tercinta ini?” Ha. Orang-orang itu bodoh atau pikun?
Pamanku menatap Dave tajam. Ia murka dengan kebodohan ajudannya yang satu ini. padahal Dave adalah orang terbaiknya. Orang terbaiknya saja sebodoh ini, apalagi ajudan yang lainnya? Dan…. Apalagi dirinya?
“Maafkan aku, Tuan.” kata Dave pelan sambil tertunduk. Ia lalu melepaskan ikatan di tanganku. Tanpa diperintah lagi, aku menandatangani surat itu lalu pergi tidak peduli.
“Tunggu! Bagaimana kami tahu ini tanda tanganmu yang asli?” teriak Dave.
Aku memutar bola mataku jengkel. Aku baru saja memberikan semua yang seharusnya menjadi milikku dan mereka masih ragu.

“Tenanglah Dave! Aku memang pembangkang, tapi aku bukan penipu dan aku tidak licik.” Aku melangkah pergi. Menjauhi mantan uangku, menjauhi kegelapan.

Komentar

Postingan Populer