Seperti Film

Dua bebek berwarna coklat asyik berenang di sebuah kubangan. Prisa melewati dua ekor bebek itu dengan hati-hati lalu melaju ke jalan setapak yang membentang di antara dua lahan pertanian. Angin lembut membasuh wajahnya, membuat ia merasa segar kembali di tengah matahari yang sangat terik.

“Ini seperti film.” kata Prisa dengan suaranya yang kecil. Ia suka apa yang baru saja dialaminya. Seperti yang ia bilang, itu seperti sebuah adegan dalam film. Adegan klasik dari film yang mengangkat tema tradisional atau film yang berhubungan dengan alam sekitar. Entah berapa puluh kali ia melihat adegan seperti itu. dan hari ini, ia bisa masuk ke dalam adegan itu

Jalanan sempit setelah sawah membentang lurus di hadapan Prisa. Jalanan sempit di kawasan padat penduduk. Jalanan sempit yang tidak bisa dilalui mobil. Hanya ada kendaraan roda dua dan manusia yang sibuk hilir mudik kesana kemari, termasuk Prisa. Pergi ke sekolah se-siang ini adalah hal yang tidak ia sukai. Karena udara bisa tiba-tiba sangat panas dan membuat dirinya seperti telur yang gosong.

“Ah!” telunjuk Prisa terangkat, ia teringat akan sesuatu “Ini juga seperti adegan dalam film.” Kata Prisa bersemangat. Ia teringat adegan dalam film dimana seorang anak kampung menyusuri jalan sempit saat berangkat menuju sekolah. Di jalan itu ia banyak bertemu dengan tetangganya, teman-temannya, bahkan preman yang memalak habis uang jajannya. Anak kampung itu menolak, lalu ia dikejar-kejar kumpulan preman dan pada akhirnya uang jajannya berpindah tangan. Ah tapi beruntunglah Prisa tidak perlu bertemu preman-preman seperti di film.

Prisa meneruskan kembali perjalanannya. Kini ia sampai di suatu pasar. Kali ini lingkungan menjadi lebih kompleks dengan kehadiran kendaraan roda empat mulai dari yang kecil sampai besar sekali. Polusi mulai bertebaran di udara. Pasar yang kotor bertambah buruk dengan polusi. Bukankah ini juga adegan yang sering kita lihat di film? Film nusantara yang mengangkat tema kemiskinan atau tema tertentu yang memasukkan pasar tradisional sebagai setting film-nya.

Entah mengapa perjalanan menuju sekolah impian Prisa kali ini terasa sangat menyenangkan. Banyak hal terasa seperti adegan dalam film. Tapi bukankah film yang mengambil adegan dunia nyata, menaruhnya dengan begitu \indah dalam rekaman. Dan bukankah kita hidup dalam film kita sendiri? Kita adalah peran utama dalam kehidupan kita. Bekerja keras, mengejar impian, menjalani hidup, bertemu antagonis dunia nyata. Tapi, tidak ada yang tahu kapan film kita akan menemui ujungnya. Apakah happy ending atau sad ending, atau mungkin bahkan twist ending. Hidup ini misterius, kawan.

Duduk nyaman di kursi bis. Sebuah bis yang dimimpi-mimpikan sejak masih mengenakan rok abu tebal. Melihat pemandangan di luar yang indah karena diluar sana yang sering dilihatnya adalah pohon. Pohon-pohon cantik yang berjajar rapi. Ada yang berukuran besar, kecil, tidak terurus, dirawat, dan dilupakan. Persis seperti manusia.

Ini adalah adegan film yang paling difavoritkan Prisa. Duduk di bis, memandang pemandangan. Kamera menyorot pemeran utama dan jendela. Terlihat pohon-pohon yang berlarian diluar. Kemudian kamera bergerak menyorot pemandangan di luar, lalu kembali menyorot pemeran utama dan kaca jendela bis.

Prisa menutup matanya. Ia terbang kembali ke masa lalunya. Mengingat kembali angan-angan yang kini tanpa terduga menjadi realita. Hal-hal yang dulu hanya mimpi, keinginan belaka, kini berubah menjadi sangat nyata. Ia sadar betapa mimpi adalah awal dari apa yang kini ia punya.

Duduk di bis itu, bagi Prisa, dulu adalah sebuah mimpi. Karena bis itu adalah kendaraan menuju sekolah impiannya. Kini, mimpi itu menjadi nyata. Bis, sekolah impiannya, semua itu kini menjadi nyata. Dan saat ia melihat lagi lebih jauh ke belakang, saat ia masih memakai seragam berani dan suci. Ia bermimpi sekolah di perguruan tinggi dengan gratis atau dengan kata lain : mendapat beasiswa. Dan apa yang terjadi kini? Ia mendapatkannya. Sebuah beasiswa di sebuah perguruan tinggi favorit di negerinya. Betapa Tuhan Maha Baik. Prisa tak henti-hentinya takjub dengan kejadian bermimpi-terkabul dalam hidupnya.


Prisa merasa hidupnya seperti di film-film yang berakhir bahagia –yang ia sendiri yakini tidak nyata. Kehidupan ini terlalu kejam untuk sebuah happy ending—pikirnya. Tapi saat ia kembali melihat ke belakang, melihat kembali keagungan Tuhan akan hidupnya, ia mulai berubah pikiran. Hidupnya memang tidak selalu dipenuhi kebahagiaan, akan tetapi, impiannya jadi nyata pun sudah cukup untuk membuat hidupnya sempurna, seru, dan luar biasa. Seperti film.

Komentar

Postingan Populer