(Cerpen) Eternal Feeling

Rambutnya hitam dan berbaris-baris tegak. Matanya tak pernah kutahu kebenarannya. Suaranya ceria menerobos sepi. Tawanya menggelegak hati. Hatinya mungkin bercahaya terang. Kehidupan mungkin menyambutnya riang. Luka minyaknya mungkin pudar tak bersisa. Dunianya mungkin lebih berwarna. Tapi waktu tak kunjung berjumpa.

Lelaki seperti itu ada dimana? Aku tidak yakin lelaki sejenis ia ada lagi. Bahkan yang sikap ataupun fisik yang mendekatinya pun aku yakin tidak ada. Ia memang bukan orang lelaki paling tampan di kota, apalagi di planet ini; bukan pula lelaki paling pintar; bukan pula lelaki paling kaya; apalagi lelaki paling sholeh. Tapi ia mempunyai sesuatu yang lebih istimewa daripada itu semua. Sesuatu yang mungkin sulit dideskripsikan. Sesuatu yang membuat perasaan ini terus bertahan hingga hari ini, hingga detik ini. lima tahun waktu berlalu dan banyak orang yang datang ke dalam kehidupanku, aku yakin tidak ada satu orang pun yang persis sepertinya.

Di masa sekarang, aku yakin ia sudah hidup bahagia. Aku yakin ia tumbuh sebagai seorang manusia yang memanusiakan manusia. Aku yakin ia tumbuh dengan segala kebaikan yang ada. Aku yakin,di ujung dunia sana, ia hidup dengan damai. Ia pasti sedang menikmati alam kesayangannya sambil tersenyum takjub. Mungkin ada yang tersenyum tepat di sebelahnya, setia menemani perjalanannya. Ia yang sekarang, aku yakin lebih baik dari ia yang terakhir kali kulihat. Tawanya pastilah lebih ceria dibandingkan dari yang terakhir kali kudengar. Aku juga yakin ia pasti lebih humoris dibandingkan dulu. Aku yakin sekali.

Kemungkinan besar ia sudah lupa rupaku, apalagi namaku. Orang sepertiku tak pernah masuk daftar kehidupan masa lalunya dan kemungkinan masa depannya juga. Sayang sekali, orang sepertinya selalu masuk daftar orang-orang berharga di kehidupanku. Orang-orang sepertinya selalu hadir dalam ruang rindu. Orang-orang sepertinya selalu masuk daftar yang ditunggu. Orang-orang sepertinya selalu merekat di kalbu. Orang-orang sepertinya terlalu berharga dibiarkan lalu.

Hanya ingin tahu, kapan bisa bertemu kembali? Bukankah lima tahun itu sangat lama? apalagi untuk seseorang yang membenci tanggal merah sepertiku. Apalagi untuk seseorang yang terlalu berharap ada yang kembali ke kehidupannya. Namun aku ingat lagi, sebuah doa yang telah lalu: bertemu jika sudah lebih baik. Mungkin diri ini belum lebih baik. Aku mengerti.

Semoga ia selalu tumbuh lebih baik. Menjadi lebih baik dari yang terakhir kali aku kenal. Menjadi lebih ceria dari yang terakhir aku lihat. Menjadi orang yang paling beruntung sedunia. Menjadi orang sukses yang dijadikan panutan. Menjadi pecinta alam yang melindungi dan menjaga alam kesayangannya. Menjadi manusia yang selalu istimewa. Menjadi traveler keren. Mulai saat ini, do’aku selalu menyertainya. Semoga ia selalu bahagia.

Salam,
Yang merindukan

Jadi orang macam apa yang membuat hatinya tak pernah pergi dari masa lalu? Orang macam apa yang mengisi hati hingga membatu, hanya untuknya satu? Aku penasaran. Membaca surat Jea untuk Reiz membuatku bergidik ngeri sekaligus salut padanya. Bagaimana bisa seseorang tak pernah lepas dari masa lalunya? Bukankah orang seperti itu akan sulit menjalani hari ini, terlebih lagi masa depan. Disisi lain, aku salut pada perasaannya pada Reiz. Orang lain atau bahkan mungkin aku sendiri belum tentu bisa teguh pada satu manusia. Jadi sosok seperti apa Reiz itu?

Aku ingin mengirim surat Jea. Aku yakin Jea sangat ingin mengirimnya pada Reiz. Hanya saja ia lebih suka diam saja. Jika aku bertanya alamat Reiz padanya pun percuma saja. Ia tidak akan menjawab apa-apa, mungkin hanya akan menyeringai. Jika aku mencari tahu sendiri pun aku tidak tahu harus mulai darimana. Apakah Jea akan terus seperti itu hingga nanti?

“Kau akan terus mencintainya?” tanyaku tak sabar.

“Aku tidak tahu.” Jawab Jea. Ia menyeringai aneh, seperti biasanya.

“Loh, kok bisa tidak tahu?” aku sebal mendengar jawabannya. Aku berharap ia menjawab dengan puitis atau setidaknya dengan kata-kata indah. Maksudku, ia sedang membicarakan cinta. Ia harus melebih-lebihkannya.

“Yaaa, tidak tahu saja. Aku bisa saja bertekad terus menyukainya. Tapi, siapa yang tahu di masa depan nanti apa yang aku rasakan untuk Reiz?” jawabnya bijak, tak lupa memperlihatkan seringaian anehnya.


Aku tidak bertanya lagi. Aku mengerti. Jea menyukai Reiz, bukan mencintainya. Sebab cinta adalah untuk yang sudah pasti dan Reiz adalah orang yang tak pasti. Se-tidak-pasti-nya perasaan Jea pada Reiz. Tapi aku yakin Jea akan selalu menyukai Reiz sebab Jea adalah tipikal orang yang selalu menyimpan orang lain dalam bilik hatinya. Setiap orang dalam hidupnya memiliki tempat tersendiri di hatinya. Aku tahu, Reiz akan selalu menjadi orang yang disukai Jea, meski Reiz tidak tergapai. Dari sisi sok-tahu-ku, aku yakin sekali perasaannya pada Reiz akan abadi. Aku tersenyum pada Jea, ia seperti biasa, membalas dengan seringaian anehnya.

Komentar

Postingan Populer