(Cerpen) Bukan Cuma Cinta-Cintaan
Jea jatuh
cinta. Setelah lima tahun lebih menyukai orang yang sama, kali ini ia jatuh
untuk orang yang berbeda. Tapi sama saja, ia tersiksa di tarik-dorong rindu.
Rindu pada orang yang belum layak dirindukan. Bukan tidak layak karena nilainya
minus, akan tetapi tentu saja karena belum halal ikatannya. Bolehkah merindu pada yang seperti itu?
Jea ragu dengan jawabannya.
Ah… akan
tetapi sekalipun dicoba dilupakan, sosoknya selalu datang menghantui. Sekalipun
Jea menyibukkan diri agar lupa, sosoknya selalu hadir lagi dan lagi, membuat
kacau dan gemas. Betapa susahnya orang yang jatuh cinta, pada orang seperti
Ridha. Rindu yang sudah tumpah ruah sekalipun tak bisa terobati sebab bukan
siapa-siapa. Ditambah lagi dengan tanggal merah yang membentang sangat panjang.
Bisa mati kerinduan Jea dibuatnya. Saat tanggal hitam pun Jea belum tentu bisa
bertemu, apalagi saat seperti sekarang, dimana tanggal merah menapaki setiap
jalan menuju februari.
Aravis dan
Summer yang melihat Jea gelisah curiga. Apa yang membuat sahabat kesayangan
mereka ini gelisah? Mereka terus memperhatikan sebab Jea sangat sukar ditebak
isi hatinya. Jea, diantara Aravis dan Summer, adalah yang paling pintar
mengatur air muka. Tak akan ada yang tahu apa yang dirasakan Jea sebenarnya,
kecuali ia membeberkannya sendiri, baik melalui lisan ataupun tulisan.
“Ada
tulisan yang udah jadi?” tanya
Summer, to the point akan tetapi
cukup implisit. Tapi Jea dan Aravis selalu mengerti. Jea menatap Summer. Ia
diam saja, kelihatan ragu. Aravis menunggu-nunggu Jea berkata ‘ada’.
“Ada, tapi
bukan tulisan.” jawab Jea.
Aravis
tersenyum samar. Dalam hati ia tertawa licik, puas. Jea mengambil sebuah buku
dalam tasnya, berukuran sedang dengan floral pattern cover yang mengaduk warna
abu-abu, merah muda, dan merah mawar menjadi paduan yang artistik. Aravis dan
Summer tahu jika itu buku tempat Jea menulis puisi-puisinya atau puisi
kesukaannya.
Untitled 4
Oleh : Narava Regnbogi
Disini udara berhembus pilu
Tak ada rambat memeluk jiwaku
Hanya rindu yang menderu
Mengigau, berteriak namamu
Disini lantai dingin berdebu
Tak ada hentak bertalu-talu
Hanya rindu yang menggebu
Berhari-hari tak ada temu
Bintang meneriakiku malang
Rindu terus bergentayang
Tak hendak biarkanku tenang
Mengurungku dalam bayang-bayang
Dimana engkau, cahaya terang?
Puisi
bertema rindu yang bukan ditulis oleh Jea, melainkan oleh seseorang bernama
Narava Regnbogi. Tapi Aravis dan Summer tahu pasti jika puisi ini sangat
menggambarkan perasaan Jea.
“Rindu?”
tanya Aravis sekenanya.
“Iya.” Jea
menjawab sambil menyeringai. Sangat khas dirinya.
“Ah gue tau
nih rindu sama siapa.” Summer mengembalikan lagi buku Jea. “Abang-abang
beladiri itu kan?” kata Summer, to the point dan tepat sasaran. Pipi Jea
kelihatan sedikit merah, menambah warna kulit gelapnya.
“Kok
tauuu?” Jea membelalakkan matanya kaget.
“Tau lah.
Dasar Jea. Cinta-cintaan mulu hidup lo. Payah.” Summer terlihat marah, entah
kenapa.
“Kenapa Sam
marah?” tanya Aravis yang mulai penasaran. Biasanya Summer hanya marah jika ada
sesuatu yang salah. Kali ini, iapun yakin ada yang salah. Tapi apa? Apa
salahnya merindu?
“Yaelah, lo
sama aja lagi, vis. Malu nih sama kerudung lo. Malu sama Tuhan lo.” Summer
mulai minta didorong ke sungai Citarum. Aravis mengerucutkan bibirnya kesal.
“Emang
hidup Jea Cuma cinta-cintaan ya?” Jea melongo polos, menampakkan
ketidakrupawanannya.
“Iya lah.
Hidup lo isinya hanya galau-galauan ke cowok. Sebelum ini ke Reiz, sekarang
Ridha. Lo ngabisin waktu lo cuma buat mikirin mereka dan ngangenin mereka?
Mereka yang jelas-jelas bukan siapa-siapa lo. Ya ampuunn sia-sia banget hidup
lo.” Sekarang mata Summer melotot, pertanda gadis itu sangat serius. Jea yang
sensitive sudah tenggelam di kursinya sejak tadi.
“Lah itu
kan fitrah, Sam. Susah di suruh go awaaaay.”
kali ini Aravis membela Jea.
“Basi!
Selaluuuu aja itu yang jadi alasannya. God!
Kalian tuh ya…” Summer memukul kepala Jea dan Aravis sambil mengeluarkan napas
panjang, frustasi.
“Hidup ini
bukan cuma cinta-cintaan, Je, Vis. Masih banyak hal yang harus lo lakuin
ketimbang mikirin cowok-cowok gak jelas itu. Lo masih harus dapet nilai terbaik
di setiap mata kuliah lo, lo masih harus nembus angka tiga biar kehidupan
pembelajaran lo aman-aman, lo harus jago bahasa Inggris, lo harus pastiin
grammar lo bagus, lo masih harus bikin bangga orang tua elo.” Summer menghirup
udara barang sebentar lalu melanjutkan,
“Jea, lo
masih harus berjuang jadi penulis. Aravis, lo masih harus berjuang jadi
jurnalis. Masih banyak hal yang lo berdua perlu pikirin jalannya biar terwujud.
Masih banyak hal yang harus lo lakuin. Maksud gue, bukannya gue nyuruh lo
berdua gak mikirin masalah cinta begitu. Tapi jangan sampe lo berdua overthinking about it. It’s not the thing you have to think the
most. Dengan porsi yang baik, oke. Tapi kalo kasusnya udah kayak Jea yang
kelihatan gundah gulana gitu, kayaknya gak usah deh.” Summer menjelaskan
panjang lebar.
“Iya juga
sih…” Jea menunduk, malu. Sedangkan Aravis menganga cukup lebar, tak menyangka
akan diingatkan oleh sahabatnya yang paling badung itu.
“Jea, lo
juga jangan cuma rindu aja. Memantaskan diri juga dong. Seenggaknya sabuk lo
harus udah coklat atau lo jadi ketua organisasi mana, kek. Kan kalo gitu baru
pantes.” Summer berkicau. Lagi. Jea tambah tenggelam di kursi.
Jea sadar.
Hidupnya bukan cuma cinta-cintaan seperti di televisi. Tidak pantas ia terus
merindukan seseorang hingga tenggelam dalam lautan baru bernama rindu. Ia masih
harus—seperti kata Summer— memperbaiki nilai D-nya, masih harus menembus angka
tiga, masih harus berjuang agar lulus, dan berjuang menjadi penulis. Ia
harusnya berkarya, bukan malah menikmati derita. Tunggu…. deritanya tidak jarang membuatnya berkarya. Rindu yang menghantuinya pun tidak jarang membuatnya berkarya. Yaaa… walaupun tidak bisa disebut karya yang
bagus. Tapi karyanya dibuat dengan sepenuh hati. Ya!
Jea
mengangkat tangan, seperti yang biasa orang lakukan ketika ingin bertanya. Ia
ingin mendebat si badung Summer.
“Summer…”
THE END
Bandung,
4-5 Januari 2016.
Komentar
Posting Komentar