Cerpen: Sesal Membayang
Besok datang ya ke
wisudaku!
Satu kalimat itu terngiang-ngiang di pikirannya, berikut
dengan bayangan manusia yang mengatakannya. Ia ragu apakah manusia itu memang benar-benar mengharapkan
kedatangannya dan temannya atau itu hanya basa-basi kereta semata. Saat kalimat
itu terlontar ia tidak bisa menatap matanya untuk sekedar mencari kejujuran
atau kebangsatan seniornya itu. Akan membuat banyak hal tidak nyaman dan bisa
disalah-artikan. Seperti itulah jadinya, mengira-ngira, menebak-nebak kebenaran
dari kalimat itu sambil menimbang-nimbang akankah ia besok bolos kelas atau
tidak—padahal ia tahu sendiri jawaban pastinya.
Esoknya tentu saja ia tidak akan datang ke acara wisuda
seniornya itu. Tidak akan ada setangkai bunga atau ucapan selamat. Satu dari
banyak hal yang kini disesalinya mati-matian. Ia, tentu saja harus berada di
kelas menyebalkan itu, kelas yang membuatnya merasa seperti berlayar di tengah
badai—menyeramkan. Tapi ia rela untuk bolos demi pergi ke acara wisuda itu. Ia
rela tidak masuk sekolah sehari itu saja. Relaaaaa sekali. Tapi ternyata masih
tidak bisa. Tidak cukup dengan niatan kuat untuk bolos. Karena masih ada
sekeping rasa yang tidak ingin diketahui orang, tentang ia yang menyukai
seniornya itu. Sahra temannya itu, yang pada waktu yang sama mendapat
permintaan yang sama, tidak boleh tahu jika ia suka pada seniornya itu.
Esoknya tentu saja ia tidak datang. Ia datang ke kelas
menakutkan dengan pikiran yang risau sebab kalimat itu. Ia tahu ia akan menyesali
pilihannya. Ia tahu ia akan menyesal dan begitulah. Bahkan detik ini pun ia
masih menyesal, padahal ia tahu pasti penyesalan tidak membawa perubahan
apa-apa. Penyesalan hanya membuat derita berkali-kali lipat. Ia menjadi sebal
sekali, kemudian alpa untuk bersyukur.
Besok datang ya ke
wisudaku!
Ia menelisik fantasinya yang paling liar. Akan seperti apa
jadinya jika ia datang? Akankah penyesalan yang kini membayang tidak akan
bersemayam? Akankah hatinya
tambah berbunga? Akan seperti apa?
Ia menyesal
sekali. Ia ingin sekali datang ke peristiwa sekali seumur hidup seniornya itu.
Ia ingin menjadi bagian hidupnya, walaupun hanya mendapat tempat sepetak saja,
diantara teman-temannya. Ia ingin ada sebuah kenangan bersamanya; sebuah foto
barangkali. Karena ia tahu waktunya tidak pernah banyak. Karena ia tahu
barangkali mereka bukan sebuah ‘iya’. Mereka bukan sebuah keniscayaan.
Barangkali waktu bisa diputar, Tuhan? Harapnya dalam hati. Ia ingin
sekali saja mendapat sepetak tempat di kehidupannya. Menyaksikannya dalam
busana wisuda. Menyaksikan senyum cerahnya di bawah toga wisudanya. Menyaksikan
pakaian final yang dikenakannya setelah berjuang di bangku kuliah.
Besok datang ya ke
wisudaku!
Ia
menghembuskan napasnya berat. Kewarasannya sudah kembali. Waktu tidak bisa
diputar, tidak bisa dibolak-balikkan. Tetap saja ia tidak pernah datang ke
wisuda itu. Tetap saja ia tidak bisa mendapat sepetak tempat itu. Tentu saja ia
tidak bisa melihat senyumnya yang cerah bagaikan sinar mentari pagi. Tentu saja
waktu yang dimiliki tidak pernah tentu. Ia bukan siapa-siapa. Tapi andai ia
bisa masuk ke dalam kehidupannya selama lima detik saja, mungkin ia hanya
tersenyum saja. Atau menyampaikan kalimat yang tidak pernah ia sampaikan: stay beautiful. Atau andai ia bisa
kembali ke masa itu, atau setidaknya kembali bertemu, mungkin ada
kata-kata lain yang ingin sampaikan,
namun selalu tersumbat sampai di tenggorokan. Ah tapi seperti dirinya
diharapkan saja.
Ia
mengambil secarik kertas dan pulpen merah favoritnya. Ia akan menulis sesalnya,
agar sesal itu hilang menuju kertas dan tak berbekas—di hatinya. Ia mulai
menulis, tangannya bergerak-gerak lincah menuliskan sesal yang membayang di
hatinya. Ia yakin, sebentar lagi, saat kertas itu penuh, sesalnya akan hilang.
Ia tahu itu, karena selalu begitu. Menulis adalah obat, termasuk untuk membuang
sesal. Sesal yang membayang.
Komentar
Posting Komentar