Flash-fiction : Pikiran yang Berhembus dengan Angin

To the red-haired man who held a nation at a young age, HAPPY BIRTHDAY!!
Untuk merayakan ulang tahun Gaara yang entah ada dimana dia T_T

Gaara berdiri di atap kantor kazekage sejak sebelum senja turun, menyaksikan matahari tenggelam dan menikmati semburat warna jingganya yang melukis langit. Pikirannya asik berkelana, memikirkan bukan hanya negaranya tercinta, Suna, tetapi juga masalah-masalah lainnya. Tapi sepertinya hal yang ia pikirkan sekarang tidak bisa disebut masalah, mungkin hal yang membingungkan lebih tepatnya.

Semenjak kejadian itu—perjodohannya, sesekali berkelebat bayangan mengenai gadis yang dipilihkan untuknya yang sialnya tidak pernah tertarik padanya. Memang selama ini ia tidak punya waktu untuk hal-hal seperti itu. Lagipula, rasanya tidak pantas jika pemimpin seperti dirinya memikirkan kehidupan pribadinya padahal ia berkewajiban memberi kesejahteraan, rasa aman, dan banyak hal lainnya lagi kepada warga desa-nya.

Tapi kali ini—kali ini saja—, bersamaan dengan angina yang berhembus, kehidupan percintaan-nya mengetuk-ngetuk sebentar ruang di pikirannya, meminta untuk dipikirkan. Apakah pernikahan itu sangat diperlukan? Jika melihat godaime dan rokkudaime hokage, mereka tidak begitu peduli akan hal itu dan mereka baik-baik saja. Bahkan kakaknya sendiri, Kankuro, masih betah dengan kesendiriannya. Tapi mengapa para tetua desa sangat mendesaknya untuk segera menikah? Hingga mereka memilihkan sendiri calon untuknya.

Memikirkan kakak perempuannya, Temari, ia tersuguhkan oleh pandangan lain. Temari terlihat bahagia menikah dengan Shikamaru, walaupun hubungan mereka cukup merepotkan karena Shikamaru harus memboyong diplomat Suna itu ke Konoha. Bahkan sahabatnya Naruto, memulai kehidupan yang lebih ramai dengan adanya Hinata, Boruto, dan Himawari. Di sisi lain ia jadi sedikit mengerti. Apakah para tetua itu berniat membuatnya tidak kesepian lagi? Mereka peduli juga. Tidak, tidak mungkin seperti itu. Gaara menggeleng-gelengkan kepalanya menyadari pikirannya yang terlalu jauh larinya.

“Gaara!” suara seorang lelaki yang sangat Gaara kenal memanggilnya. Ia menoleh ke belakang. Sesuai dugaan, Kankuro berdiri cukup jauh di belakang Gaara lalu perlahan mendekatinya, menepuk pundaknya. “Apa yang kau lakukan disini? Ada dokumen baru di kantormu, kau harus segera kembali… atau kau bisa memulai lagi besok. Terserah.”

Pekerjaan yang baru mulai datang kembali. Ia tahu, ia tidak punya waktu untuk masalah percintaan. Waktunya sudah untuk negeri angin saja, barangkali. Pada akhirnya ia mengangguk lalu meninggalkan Kankuro sendirian. Kankuro mendecih tidak suka. Selalu seperti itu, pikirnya.

Narava Regnbogi

Bandung, 18 Januari 2016

Komentar

Postingan Populer