Orang Tua (Summer)
Mom,
I wish I talk to you softly.
I wish I don’t say bad words to you.
I wish I could love you the way you do.
I wish I could keep your heart away from
heartache.
Unfortunately, I’m the one who hurt your heart.
Unfortunately, I’m an asshole who raise my
voice to you.
Mom,
All I can say is I’m sorry.
I know too well that sorry is the most useless
word—in this world.
But I don’t know how to make things better.
Because I’m not good at repairing something.
I, in fact, am the breaker. I’m ruining most of
things, including me.
I’m sorry for everything.
Best,
Summer.
Summer,
seperti biasa, menulis surat yang tidak pernah ia sampaikan. Selain tak pernah
disampaikan, Summer juga menulisnya dalam bahasa Inggris. Padahal orang-orang
yang ditujunya tidak mengerti bahasa Inggris. Tapi Summer tetap saja menulisnya
dengan bahasa Inggris. Menurutnya, dengan bahasa Inggris, ia tetap bisa
menyampaikan maksudnya namun tidak begitu mencolok.
Kali ini ia
menulis surat untuk ibunya. Summer, yang paling badung diantara dua sahabatnya
itu, bukanlah anak yang cukup baik. Ia bisa dibilang nakal, namun nakalnya
tidak pernah berlebihan. Kali ini ia tengah bersedih. Melihat dirinya yang
penuh kekurangan kepada orang tuanya, terlebih lagi ibunya. Begitu pula sebaliknya,
orang tuanya yang penuh kekurangan kepadanya.
Summer
bukan tipikal orang yang mengagungkan orang tuanya. Melebih-lebihkan ucapan dan
caption tentang mereka di hari ulang
tahun mereka , hari ibu, ataupun hari ayah. Ia tidak pernah menyebut orang tuanya
sempurna. Orang tuanya memang tidak sempurna dan ia pikir tidaklah perlu untuk
menyatakan statement seperti mama yang
terbaik walaupun tidak sempurna atau perkataan dusta semacamnya.
Ibu-ayahnya
memang tidak sempurna. Ia tidak pernah membantah fakta itu. Dalam asuhan
mereka, Summer menyadari perkembangan fisik dan kejiwaannya yang tidak bisa
dibilang hebat. Ia dibesarkan di rumah dengan penghuni bermulut pedas dan anti
dengan berbagai macam keriuhan. Ia yang waktu itu masih anak-anak terkekang
ketakutan dimarahi dan juga kehilangan keinginan berteriak-teriak sehingga
sebelum kini, ia menjadi pribadi yang takut dikritik, takut akan pendapat orang
lain, dan takut menjadi gangguan bagi orang lain. Hatinya ditumbuhi ketakutan
yang tidak perlu. Tapi itu dulu. Ia sudah sampai pada sebuah turning point yang
membuatnya seperti sekarang.
Walaupun
sekarang ia tumbuh menjadi pribadi badung. Berpakaian dengan kategori tidak
sopan—ripped jeans dan kaos atau
kemeja. Untuk masalahnya ini, secara psikis, ia mengerti dan menerima apa yang
terjadi. We can’t blame people for their
imperfection, pikir Summer. Rasanya tidak adil jika menyalahkan
ketidaksempurnaan seseorang. Tidak ada manusia yang ingin cacat. Tidak ada
manusia yang ingin menjerumuskan orang lain ke dalam kegelapan ataupun
kesedihan—jangan hitung yang menuruti setan.
You know what, ma?
You can blame people for their imperfection.
You can mad at them, you can hate them, but you
can’t blame them.
Nobody’s perfect, right?
What can I do if I can’t do everything well?
I should work hard for the best value, right?
I know something, ma.
We have two choices; get busy living or get
busy dying*.
I am better pick up the first.
Summer
tahu, tidak ada orang tua yang tidak menyayangi anaknya. Ia, walaupun tumbuh
dengan berbagai ketidaksempurnaan selalu bisa menyempurnakannya sendiri. Tidak
masalah jika orang tuanya tidak sempurna. Ia tahu itu adalah cobaan sekaligus
ladang pahala. Memang mengapa jika tak sempurna? Apa daya? Hidup masih bisa
melaju luar biasa. Summer masih bisa berusaha. Bahagia masih bisa terasa.
Komentar
Posting Komentar