Matahari
Dua anak manusiamenikmati senja. Mereka tergeletak di
hamparan rumput hijau. Menikmati angin yang membelai-belai lembut. Menikmati
danau dan langit yangkompak menunjukkan keindahan mereka masing-masing. Danau
yang mereka nikmati kilaunya, menghembuskan memori-memori yang pernah ada.
Memori yang sudah lama sekali, saat Bita masih sendiri saja di danau; sendiri
menikmati langit, sendiri menikmati kilauan danau, sendiri menikmati angin,
selalu saja sendiri dengan pikirannya yang kalang kabut macam diamuk tornado.
"Ka, inget pertama kali kita ketemu, gak?" tanya
Bita. Ia sudah cekikikan duluan mengingat kembali kenangan lama itu.
Lelaki di sebelahnya, yang sedang tiduran malas melihat ke
arah Bita, "Inget, lah. Kapan lagi ada cewek aneh kecebur di
danau."sedetik kemudian Aska tertawa lepas. Ia sendiri sudah menobatkan
hal itu menjadi hal terlucu sekaligus terbodoh yang pernah ia lihat dalam
hidupnya. Aska mengubah posisinya menjadi duduk demi melihat wajah Bita yang
merengut kesal. Bahkan rumput-rumput hijau nan cantik itu tak lepas dari
kekesalan Bita. Dalam waktu singkat saja sudah banyak yang tercerabut dari
tanah.
"Kebiasaan, deh.
Kasihan tuh rumput. Sial banget ya mereka sampe dicabutin gitu."
Aska mendelik ke arah Bita. Bita menarik napas panjang lalu menarik tangannya
yang masih gatal ingin mencabuti rumput dan mencakar-cakar tanah.
"Tapi ka, aku bersyukur loh ketemu kamu. Aku yakin kamu
gak acting soal gak benci sama aku. Sikap kamu nunjukkin aku jalan ke
arah cahaya yang berlimpah," senyuman lebar kini hinggap di wajahnya.
Senyuman itu, yang satu tahun belakangan ini selalu ia lakukan, dan itu tidak
lain karena manusia di sebelahnya.
Aska membisu. Tidak sekali dua kali ia mendengar ucapan itu
keluar dari mulut Bita. Ia tak menyangka keputusan kecilnya akan berpengaruh
begitu besar pada seseorang dan kehidupannya.Keputusan itu, yang setahun lalu
ia ambil, bahwa ia akan selalu berbuat baik pada orang lain; bahwa ia tidak
ingin membenci siapapun lagi dalam hidupnya. Ia tidak pernah menyangka keputusan
itu membawa perubahan besar pada kehidupan Bita, sampai-sampai Bita selalu
berkata ia bersyukur bertemu Aska.
"Dan seberapapun cemerlangnya kehidupan aku sekarang
dan nanti, aku bakalan selalu kembali ke kamu, ka. Buat mempersembahkan setiap
penghargaan dan kebaikan buat kamu. Ibarat bisnis, kamu udah ngasih aku modal
yang bisa aku lipat-gandakan. Kamu ngasih aku awal buat bahagia, ka. Gak akan
ada siapapun yang bisa gantiin kamu buat tempat kembali aku di dunia sialan
ini."Aska melihat mata Bita yang berkilau, entah karena pantulan danau
atau refleksi hatinya, yang pasti mata itu menunjukkan sejuta kekaguman dan
Aska tahu jika itu untuknya.
Aska tak merespon. Ia tetap saja tak bergeming. Bukannya
tersanjung, apalagi speechless. Bita sudah sering mengucapkan kalimat-kalimat
semacam itu. Ia rasanya sudah bosan sekali. Ia teringat keputusan kecilnya
lagi. Barangkali karena itu. Aska tidak menyadari bahwa ia sudah seperti
matahari bagi Bita. Saat ia pertama kali hadir ke kehidupan Bita, ia secepat
cahaya menjadi pusat semesta Bita. Hal selanjutnya yang Aska tahu hanyalah
perasaan berdosa tiap kali Bita menawarinya puja dan persembahan. Semakin
merasa berdosa saat ia tidak tahu bagaimana cara mengatasinya. Lewat kekerasan
sudah pasti tak akan mempan, lewat kelembutan ia tak bisa.
Tapi hari ini ia bertekad mengakhiri semua puja dan
persembahan salah alamat itu. Ia bertekad menjadikan hari ini hari terakhir
Bita begitu memujanya. Tak ada lagi dirinya yang menjadi pusat semesta Bita.
Keheningan yang selanjutnya bergabung bersama mereka memberinya kesempatan
berpikir jernih, menjadi pembatas pikiran mereka masing-masing.
Bita tak terganggu dengan keheningan diantara mereka.
Keheningan di antara mereka selalu menenangkan. Berbeda dengan keheningan lain
yang memilukan, keheningan di antara mereka menawarkan pelukan hangat untuk
jiwa, bukan tangisan kesedihan.
"Ka, kok kamu diem aja sih? Kamu gak pernah respon deh
kalo aku ngomong gitu." Bita memosisikan wajahnya menghadap Aska, meminta
jawaban. Ia sudah siap mendalami mata coklat Aska, mencoba menemukan apa yang
akan muncul disana. Kebohongan kah atau kejujuran.
"Kamu berlebihan, Bit." Aska menjawab pendek.
Hanya itu saja yang ia ingin keluarkan sekarang. Bita tak melihat apapun di
mata Aska.
"Aku rasa nggak. Buat seseorang kayak kamu...,"
Bita menggantungkan kalimatnya lalu membang pandangannya ke arah danau.
"...itu pantas kok, ka."bahkan kamu pantas buat sesuatu yang lebih,
Bita meneruskan dalam hati.
Aska berdiam diri lagi kemudian mengeluarkan kertas dan
pulpen dari tas-nya. Ia menulis sesuatu. Hal itu luput dari perhatian Bita yang
asik menikmati danau-nya. Iya, danau yang sangat berarti baginya. Tidak aneh,
mengingat danau ituadalah saksi semua kesedihannya;saksi saat Bita menangis
sesenggukansaat dihimpit berbagai masalah, saksi bisu aktivitas menyendirinya,
terlebih lagi saksi pertemuan pertamanya dengan Aska.
"Bit," Aska memanggil Bita. Bita secepat kilat
menoleh mendengar suara Aska. Ia menautkan alisnya bertanya. 'Nih, baca kalo
udah nyampe kosan ya."Aska mengangsurkan kertas yang sudah ia lipat tiga
kali. Bita mengangguk. Cepat-cepat ia menyelipkan kertas itu di phonecase-nya
agar tidak hilang.
Mereka meneruskan memandang danau dan langit, dalam diam
yang menenangkan. Bita selalu merasa bahagia begini, di pinggir danau, melihat
kilauannya, langit senja diatasnya, dan Aska disampinya, lelaki yang sudah ia
nobatkan sebagai penyelamat hidupnya dan cinta satu-satunya. Bila sebelumnya
dia takut jatuh cinta, takut terluka, takut ini-itu, kini ia bersedia menanggung
apapun resikonya--resiko jatuh cinta--bahkan jika itu kebinasaan-nya sekalipun.
Bita mengalihkan pandangannya ke arah Aska. Mata coklat itu
yang selalu mengingatkannya pada secangkir coklat lezat itu selalu menentramkan
hatinya. Ia sudah pasti mengaitkan lirik your eyes look like like coming
home pada mata Aska, dan rambut hitam senada miliknya itu, akan selalu
mengingatkannya pada materi gelap di jagad raya ini, kelam, misterius, dan
memenuhi alam!
Aska yang merasa diperhatikan menoleh. Matanya bertemu mata
Bita yang hitam kelam, barangkali karena luka masa lalu, barangkali memang
begitu adanya. Bita yang ketahuan
memperhatikan langsung tak karuan. Hidungnya memerah, menggantikan
posisi dimana seharusnya rona itu tampak, pipi.
"Nasi atau bakso?" Bita bertanya sekenanya.
"Kita gak makan bareng ya bit malem nanti. Aku mau
bungkus aja ke kosan, makan sambil ngerjain paper biar cepet kelar." mata
mereka masih bertemu.
"Yaaah...." Bita kecewa. Tangannya sudah meraba
rumput, siap mencabuti lagi.
"Pulang yuk, udah mau maghrib nih." ajak Aska. Ia
sudah bangkit berdiri sebelum Bita bilang setuju. Bita cepat-cepat mengambil
ransel-nya lalu berlari menyusul Aska yang mulai menjauh.
"Ka, tunggu!"
---
Kertas putih itu sudah terbuka dari lipatannya,
memperlihatkankalimat-kalimat yang rapi ditulis menggunakan tinta hitam. Bita
menyimpannya begitu saja diatas laptop putihnya lantas menjatuhkan diri ke
tempat tidur, merenungi isi surat sambil memeluk bantal gendutnya.
Tsabitah,
Kau kan tahu, tempat kembalimu bukanlah aku. Pada
akhirnya, kau akan selalu, selalu, dan selalu kembali kepada Tuhan. Sebab
Dia-lah tempat kembalinya segala sesuatu. Puja dan persembahanmu, kau
peruntukkan saja buat Tuhan-mu. Sebab dari-Nya lah semua kebahagiaan dan rahmat
datang. Semoga kau ingat ini. Selalu
Perihal tanya yang kau ajukan entah kapan, mengenai
bagaimana menjadi kuat, barangkali ada satu lagi yang lebih penting: tidak
menggantungkan pengharapanmu pada manusia manapun, termasuk aku. Karena orang
yang menjadi tempat kaumenggantungkan harapan, bisa jadi orang yang paling bisa
membuatmu jatuh berserakan.
Salam,
Askari.
Komentar
Posting Komentar