Satu Menit
Bandung, 7.47-7.48 P.M.
Alunan musik
pembuka This Love milik Taylor Swift
merambat masuk ke telinga. Gadis itu bisa mendengar suara laut bersamaan dengan
musik itu. Tiba-tiba suara deburan ombak di malam yang hitam pekat hadir di
kepalanya. Tiba-tiba langit yang mengabu muncul ke penglihatannya, matanya
tertutup. Lagu ini selalu mengundang laut untuknya. Entah kenapa. Mungkin
liriknya, mungkin gambaran yang dibangun oleh media sosial yang ikonik dengan
huruf ‘t’-nya. Ia menghirup napas dalam-dalam, menghembuskannya, lalu membuka
kelopak matanya. Matanya merah, entah karena kurang tidur, entah karena emosi
yang terkubur. Ia memosisikan kesepuluhjarinya di keyboard, lalu menulis, tepat
saat menit ke-48 berdetak.
Di sebuah mesjid, 7.47-7.48 P.M.
Kiera
mengangkat rok-nya, tidak terlalu tinggi, hanya membiarkan kakinya berjalan
lancar. Jam sudah menunjukkan pukul 7.47 sementara ia belum menunaikan sholat
isya, dan maghrib! Kiera melepas sepatu sportnya kasar, kaos kaki hitamnya
masih menempel di kakinya yang kecil. Ia buru-buru menuruni tangga menuju basement, mengambil wudhu.
Angkutan Kota, 7.47-7.48 P.M.
Tiga, adalah
jumlah jiwa yang ada di angkutan kota merah membara itu. Sang supir tak ia
hitung jiwanya karena terlanjur dongkol. Angkutan kota yang ia tumpangi tidak
juga beranjak. Entah berapa lama, rasanya melihat jam pun ia ingin mengamuk
saja di dalam angkutan kota itu. Menendang kaca angkutan hingga pecah dan
kakinya berdarah, berteriak memaki-maki sang sopir, atau meloncat-loncat dengan
pantat di kursi penumpang sudah mampir ke pikirannya di kali keseratus. Ia
mendesah frustasi. “Orang sabar disayang Allah” ia pahat jelas-jelas di
hatinya. Sebentar lagi, sebentar lagi,
katanya menghibur diri. Ia membuka ponsel, membuka galeri musik, lalu menyetel
lagu-lagu rock biar puas hatinya.
7.48. Ia melihat jam yang ada di ponselnya. Ia mendesah lagi, frustasi.
Kantor, 7.47-7.48 P.M.
Jarinya
masih sibuk diantara keyboard dan kalkulator. Keduanya sama-sama digunakan
untuk menghitung, keyboard digunakan menulis formula dan kalkulator menghitung
remahannya. Kemeja putihnya yang segar tadi pagi sudah kusut sejak sore datang.
Ia menutup matanya sebentar. Menenangkan diri sebelum memulai kembali pekerjaan
tambahannya. Ia bisa melihat istrinya duduk di depan televisi sambil
sekali-kali berjalan ke depan, menunggunya pulang. Makanan yang sudah istrinya
siapkan di dapur pastilah sudah dingin. Ia membuka matanya kembali, bertekad
menyelesaikan pekerjaannya agar istrinya tak harus terjaga lebih malam. Ia
melihat jam di layar computer, 7.48. Ia kembali bekerja.
Jalanan, 7.47-7.48 P.M.
“Selamat malam. Mohon maaf mengganggu
perjalanan anda. Saya disini hadir membawa cerita dalam nada. Silakan dinikmati.”
Kalimat itu menjadi pendahuluannya sebelum ia memetik gitar usangnya. Kunci C,
lalu D, lalu G, lalu pikirannya tak lagi mengingat kunci. Tangannya otomatis
bergerak memetik gitar. Mungkin sudah lebih dari 100 kali ia memainkan lagu
itu. Sudah tentu ia hapal kunci dan lirik di luar kepala. Ia mulai menyanyi di
menit ke-48.
Bandung, 27
dan 28 November 2016,
Yang sadar
bahwa bukan dia saja yang punya hidup.
Komentar
Posting Komentar