(Selalu) Ada Udang di Balik Batu, Kebenaran dan Dominasi pada Empat Satu Satu (411)
[Dina
Juwita]
(Selalu) Ada Udang di Balik Batu, Kebenaran dan Dominasi pada Empat
Satu Satu (411)
Para aktivis islam dari berbagai daerah di Indonesia
mengadakan aksi di Jakarta dalam rangka menuntut dilanjutkannya proses hukum
terkait kasus penistaan agama yang dilakukan oleh Gubernur DKI Jakarta
non-aktif, Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. (Sumber foto: http://static.republika.co.id/uploads/images/inpicture_slide/massa-memadati-kawasan-bundaran-air-mancur-saat-aksi-4-_161104174608-947.jpg)
Indonesia
merupakan negara multikultural dan multietnis yang sangat rentan menghadapi
konflik internal, mulai dari konflik antar-suku, antar-golongan, dan
antar-agama. Berbagai isu etnis, ideologi, politik, dan agama sudah banyak
dihadapi. Baru-baru ini, isu penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur
DKI Jakarta non-aktif, Ahok menjadi perbincangan panas di berbagai media, menuai
kritik, bahkan hingga melahirkan aksi 4.11 (empat november) sebagai bentuk
pembelaan terhadap kitab suci Al-Quran.
Aksi 4 November
ini berawal dari komentar Ahok yang menganggap banyak orang ditipu pandangannya
akan pemimpin oleh surat Al-Maidah ayat 51. Hal ini secara tidak langsung
mengusik dan mengkritisi ‘kebenaran’ yang dipercaya oleh masyarakat Indonesia
yang mayoritas memeluk agama Islam. Sejak sebelum naik jabatan sebagai
Gubernur, Ahok sudah menuai penolakan dari orang-orang yang berpegang teguh
pada kitab Al-Quran. Perkataan Ahok tersebut, ditambah kurangnya transkripsi
yang ditulis oleh Buni Yani membuat Ormas Islam semakin berang. Namun dibalik
kasus penistaan agama ini, terdapat kepentingan-kepentingan terselubung, baik
dari pihak aktivis maupun pihak pendukung Ahok. Merujuk pada perspectivisme
Nietzsche dalam Gagasan-Gagasan Pembuka Selubung Dominasi bahwa “kebenaran
sering menjadi tempat untuk bersembunyi kepentingan-kepentingan sehingga
menentukan cara menafsir realitas.” (Haryatmoko, 2010) Disini dapat dilihat
bahwa disebarkannya ‘kebenaran’ akan adanya penistaan agama mengandung
kepentingan-kepentingan tertentu dari dua kelompok bertentangan. ‘Kebenaran’
ini dinilai berbeda oleh kedua pihak yang mempunyai kepentingan-kepentingan
tertentu. Kelompok lain menganggap bahwa kalimat “dibohongi pakai surat
Al-Maidah” (Detik News) tetap saja bentuk penghinaan, terlebih lagi dengan
adanya salah satu ayat dari Al-Kitab yang dijadikan alat ‘pembohongan publik’,
sedangkan kelompok lain menganggap makna yang ada dalam kalimat tersebut
berbeda: bukan surat Al-Maidah yang bohong, tetapi oknum yang membawa-bawa
surat Al-Maidah. Dua kelompok ini masing-masing memiliki kepentingan: yang satu
menghindari adanya pemimpin non-muslim, sedangkan yang lainnya menghindari
kemungkinan Ahok kalah dalam pemilu. Kepentingan tersebut membuat ‘kebenaran’ ditafsirkan
berbeda, yang menurut para aktivis ‘kebenaran’ yang benar bahwa Ahok menghina
agama Islam, sedangkan menurut Pendukung Ahok, ‘kebenaran’ yang benar adalah
bahwa Ahok bukan menyudutkan agama, tetapi oknum yang membawa-bawa agama.
Sikap para
aktivis Islam tersebut merupakan bentuk dominasi simbolis yang “tidak dirasakan
sebagai bentuk kekerasan, bahkan yang didominasi menyetujuinya.” (Haryatmoko,
2010) Al-Quran merupakan salah satu prinsip simbolik (bahasa) yang banyak
mempengaruhi pengikutnya karena dijabarkan merupakan suatu anugerah, pedoman
hidup, ‘obat’, dan yang terpenting berasal dari Tuhan. Al-Quran juga memuat
prinsip simbolik lainnya seperti “gaya hidup, cara berpikir, berbicara, atau
bertidak, serta stigma.” (Haryatmoko, 2010) Melalui prinsip yang kompleks ini,
dominasi kekuasaan terhadap pengikut Islam, terutama para aktivis semakin besar
dan menjadi “motivasi diri” seperti yang disebut oleh Haryatmoko dalam Dominasi Penuh Muslihat: Akar Kekerasan dan
Demokrasi. Ahok yang cenderung mengkritisi orang-orang yang mempercayai
surat Al-Maidah ayat 51 seperti menggugat aturan dan pedoman yang ada dalam
masyarakat Islam dan mencari keributan. Menurut Haryatmoko,
“ajakan
untuk kritis terhadap lembaga-lembaga produksi kekuasaan (agama, ideology) akan
selalu menghadapi penolakan para pemeluknya karena korban kekerasan simbolik
menyetujui dominasi atau bahkan membutuhkannya untuk memberi jaminan akan
ketidakpastian yang dihadapinya.”(haryatmoko, 2010)
Penggalan
pidato yang disampaikan Ahok tersebut merupakan bentuk ajakan kritis untuk tidak
menganggap sesuatu benar atau salah secara ‘brutal’, bahwa Al-Maidah ayat 51,
yang sering dijadikan alasan untuk tidak menerima pemimpin non-islam belum
tentu benar. Hal ini membuahkan respon penolakan akan gagasan tersebut dari
para pemeluknya karena mereka menyetujui dominasi yang ada, menganggapnya
benar, dan membelanya.
Barangkali
benar agama merupakan nomer satu yang banyak dinomersatukan oleh masyarakat.
Penghinaan terhadapnya, barang sedikit, mampu membuat perlawanan dan pembelaan
yang sedemikian besar. Bahkan politik sekalipun, yang kotor, bisa dilibas jika
berurusan dengan masalah agama. Seperti yang disebutkan oleh Haryatmoko tentang
tatanan sosial bahwa “yang jasmani tunduk pada rohani” (13), agama sebagai
lembaga produksi kekuasaan akan selalu mendominasi manusia kebanyakan sebagai
dominasi simbolis.
Words Count: 578 Words (Tidak termasuk
keterangan foto dan citation)
Referensi:
Detik News. Web. Buni Yani Akui Salah Transkrip Ucapan Ahok
Soal Surat Al-maidah Ayat 51. Diakses 5 November. 2016. <http://news.detik.com/berita/d-3337570/buni-yani-akui-salah-transkrip-ucapan-ahok-soal-surat-al-maidah-ayat-51>
Haryatmoko. 2010.
“Gagasan-Gagasan Pembuka Selubung Dominasi” dalam Dominasi Penuh Muslihat: Akar
Kekerasan dan Diskriminasi. Jakarta: Gramedia.
Tempo.co.
Web. Tim Pemenangan Ahok-Djarot: Sah Jika Umat Islam Tersinggung. Diakses 5
November. 2016. <https://nasional.tempo.co/read/news/2016/11/05/078817972/tim-pemenangan-ahok-djarot-sah-jika-umat-islam-tersinggung>
Komentar
Posting Komentar