The Day We Meet Again
Musim hujan tak dinginkan badanku karena aku berada di sebuah gedung olahraga yang dipadati banyak orang. Dengan kamera yang dikalungkan di leher, handphone dan kertas di tangan kiri, dan pulpen di tangan kananku, aku mencuri-curi kesempatan untuk mengobrol denganmu. Hari itu, aku sudah mengganggu pelatihmu dan teman-temanmu dengan pertanyaan-pertanyaanku yang tidak bisa dibilang sedikit. Aku lihat mereka sedikit tidak suka. Tentu saja, mereka inginnya melihatmu berlaga di lapangan, bukan denganku dan setumpuk pertanyaan.
Aku menyimpan alat tulisku lalu memotretmu. Tiga gambar ketika kau membanting lawan. Kuperhatikan hasil fotoku, tidak cukup baik. Aku mengambil beberapa lagi, lalu pikiran itu hinggap begitu saja. Rasanya aku mengenalmu. Kuda-kuda itu. Rambut hitam yang lurus dan lebat, namun kali ini lebih pendek. Aku membuka-buka memoriku kembali ke berbagai masa. Rasanya aku mengenalmu.
Kuambil foto terakhir saat kau tersenyum lebar dan berjalan menuju podium kemenangan. Tidak tanggung-tanggung, peringkat pertama kau dapatkan. Kau tersenyum lebar, melambai pada pelatih dan teman-temanmu. Menggenggam medali emasmu. Aku masih mencoba mengingat saat kakiku berjalan mendekatimu di podium. Ku ambil satu gambar lalu menunggumu turun untuk kutahan pada detik berikutnya, meminta sedikit waktumu untuk mengobrol. Obrolan ringan, untuk dipajang di surat kabar esok hari.
Kudapatkan waktumu tak lama kemudian. Kau sangat ramah ternyata. Kutatap iris matamu saat melemparkan pertanyaan pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya. Aku merasa pernah tersesat di matamu. Kuselesaikan sesi mengobrol penting lalu mulai lancang menanyakan tempat kau menimbal ilmu bela diri, menanyakan tapak tilasmu.
Kau menjawab dengan ceria dan bersemangat. Aku hampir mati tersedak air liurku sendiri. Pantas saja aku merasa mengenalmu. Aku dulu pernah berada di tempat yang sama denganmu. Sebuah lingkaran sama. Sebuah organisasi bela diri di tempat menimba ilmu dahulu. Kau, ternyata orang yang kulupakan dengan kesibukan. Aku mengenalmu waktu itu dan tiba-tiba saja rasa rindu itu tumpah keluar. Dinding Maluku runtuh begitu saja seiring hilangnya ingatanku akan moral-moral yang harus dipegang teguh karena aku orang beragama.
Yang kusadari berikutnya, aku menambah satu dosa dengan memelukmu. Kau tak bergeming, kaku. Barangkali waktu itu kau berpikir, “siapa orang gila ini?” Dengan suara yang sudah tak terkontrol dan air mata yang turun, aku memberitahumu siapa aku. Gadis bodoh yang tidak pernah melakukan gerakan bela diri dengan benar. Gadis bodoh yang susah sekali mengingat gerakan-gerakan karate, apalagi soal gerakan yang seperti mencabut pedang itu.
Kau tidak langsung ingat karena aku memang hanya hadir dalam hidupmu selama tiga bulan. Tapi suatu waktu kau mengingatku juga. Dan seperti itulah hari saat kita bertemu kembali. Aku sudah menjadi seorang jurnalis dan kau seorang karateka. Disitulah petualangan seumur hidup bermula.
The day we meet again, I am a journalist and you are a karateka. And that’s the moment when our lifetime of adventure begins.
---
I hope.
Aku menyimpan alat tulisku lalu memotretmu. Tiga gambar ketika kau membanting lawan. Kuperhatikan hasil fotoku, tidak cukup baik. Aku mengambil beberapa lagi, lalu pikiran itu hinggap begitu saja. Rasanya aku mengenalmu. Kuda-kuda itu. Rambut hitam yang lurus dan lebat, namun kali ini lebih pendek. Aku membuka-buka memoriku kembali ke berbagai masa. Rasanya aku mengenalmu.
Kuambil foto terakhir saat kau tersenyum lebar dan berjalan menuju podium kemenangan. Tidak tanggung-tanggung, peringkat pertama kau dapatkan. Kau tersenyum lebar, melambai pada pelatih dan teman-temanmu. Menggenggam medali emasmu. Aku masih mencoba mengingat saat kakiku berjalan mendekatimu di podium. Ku ambil satu gambar lalu menunggumu turun untuk kutahan pada detik berikutnya, meminta sedikit waktumu untuk mengobrol. Obrolan ringan, untuk dipajang di surat kabar esok hari.
Kudapatkan waktumu tak lama kemudian. Kau sangat ramah ternyata. Kutatap iris matamu saat melemparkan pertanyaan pertama, kedua, ketiga, dan selanjutnya. Aku merasa pernah tersesat di matamu. Kuselesaikan sesi mengobrol penting lalu mulai lancang menanyakan tempat kau menimbal ilmu bela diri, menanyakan tapak tilasmu.
Kau menjawab dengan ceria dan bersemangat. Aku hampir mati tersedak air liurku sendiri. Pantas saja aku merasa mengenalmu. Aku dulu pernah berada di tempat yang sama denganmu. Sebuah lingkaran sama. Sebuah organisasi bela diri di tempat menimba ilmu dahulu. Kau, ternyata orang yang kulupakan dengan kesibukan. Aku mengenalmu waktu itu dan tiba-tiba saja rasa rindu itu tumpah keluar. Dinding Maluku runtuh begitu saja seiring hilangnya ingatanku akan moral-moral yang harus dipegang teguh karena aku orang beragama.
Yang kusadari berikutnya, aku menambah satu dosa dengan memelukmu. Kau tak bergeming, kaku. Barangkali waktu itu kau berpikir, “siapa orang gila ini?” Dengan suara yang sudah tak terkontrol dan air mata yang turun, aku memberitahumu siapa aku. Gadis bodoh yang tidak pernah melakukan gerakan bela diri dengan benar. Gadis bodoh yang susah sekali mengingat gerakan-gerakan karate, apalagi soal gerakan yang seperti mencabut pedang itu.
Kau tidak langsung ingat karena aku memang hanya hadir dalam hidupmu selama tiga bulan. Tapi suatu waktu kau mengingatku juga. Dan seperti itulah hari saat kita bertemu kembali. Aku sudah menjadi seorang jurnalis dan kau seorang karateka. Disitulah petualangan seumur hidup bermula.
The day we meet again, I am a journalist and you are a karateka. And that’s the moment when our lifetime of adventure begins.
---
I hope.
Tulisan ini pertama kali dan juga dimuat di: naravaregnbogi.tumblr.com
Komentar
Posting Komentar