Rumput Hijau
Barangkali kelak ku kan kembali. Mengobrol bersama rumput-rumput hijau di pinggir danau. Berbaring malas di bawah pohon sambil menikmati hembusan angin yang lembut dan segar. Obrolan kami akan terdengar menyebalkan. Barangkali berakhir dengan cakar-cakarandan cabut-cabutan. Barangkali pula, sebaliknya, akan berakhir dengan pemahaman satu sama lain.
“Rumput-rumput, kalianlah saksinya.” Aku melemparkan penyataan pada rumput meskipun mataku menuju ke langit biru.
“Saksi akan apa?” mereka bertanya. Barangkali tak ingat. Aku lupa. Ingatan mereka hilang saat mesin berisik itu memotong ujung-ujung mereka. Aku membuang napas perlahan dan panjang, bingung harus menjelaskan dengan cara apa.
“Saksi akan apa, Nara?” rerumputan penasaran.
Aku melihat danau. Menyelami pikiranku kembali. Jika rumput tidak ingat, mungkin danau ingat. Tapi mengingat danau jauh beberapa meter disana, Nara tidak yakin danau mengingatnya. Barangkali danau hanya mengingat peristiwa ketika Nara kesulitan bernapas dan panik ketika tidak berhasil membalik perahu karet gembung super berat itu. Nara menyayangkan ingatan rumput yang harus hilang.
“Saksi akan apa, Nara?” rerumputan bertanya lagi. Nara bingung, sejak kapan rerumputan cerewet sekali.
Nara menceritakan kembali, sebuah peristiwa di bulan februari, bulan yang hanya mendapat angka 29 empat tahun sekali. Peristiwa yang terjadi itu—serta perasaanya—juga hanya ada satu kali seumur hidup Nara. Nara bercerita bahwa pada suatu waktu, saat kering berganti basah, coklat berganti hijau, sekarat berganti kehidupan, saat itu pula pengalaman Nara berubah, kebanyakan menjadi lebih banyak angin dan gigitan hewan buas. Tapi awal dari itu, selalu pada bulan Februari.
Nara bilang di bulan kedua itu, ia datang bergerombol, menginjak rerumputan disana dan disini dengan sepatu yang membuat kakinya menjadi aneh. Nara bilang ia jatuh cinta dengan rumput yang paling hijau. Rumput itu begitu terang, terlebih diantara awan-awan hitam. Itulah, peristiwa yang seharusnya diingat para rerumputan. Seharusnya Nara dan rerumputan mengobrol tentang bagaimana tanggapan rerumputan pada rumput yang satu itu. Apakah rumput yang satu itu sering menyakiti mereka? Membuat iri mereka? Lalu Nara dan rerumputan akan jatuh pada arena perdebatan. Masing-masing tetap mengibarkan pendapatnya tinggi-tinggi.
“Tapi kalian lupa.” kata Nara pada akhirnya.
“Sayang sekali kami mempunyai ingatan yang pendek.” salah satu rumput menunduk, sangat mirip seperti rumput yang hendak layu.
Nara tersenyum. Ia berkata tak apa-apa rerumputan tak mengingatnya, karena bahkan ia sendiri ingin kenangan itu hancur begitu saja tanpa bersisa.
“Mengapa, Nara?” rerumputan bertanya lagi, kali ini kompak dalam satu nada.
“Karena Nara pikir itu sudah tidak berharga lagi. Perasaan manusia sungguh misteri, karena bisa berbanding terbalik di waktu berikutnya. Seperti itu lah Nara pada rumput paling hijau. Jika dulu Nara sangat suka, hari ini Nara amat membencinya. Dan…, bagaimana bisa seorang makhluk fana membenci? Betapa rusaknya hati Nara.” Nara tersenyum getir.
Rerumputan berbisik-bisik. Nara tak bisa mendengar suaranya. Ia membawa ranselnya lalu melangkah pergi. Obrolan seperti ini akan hilang di hari esok, atau mungkin besoknya—entahlah. Saat rerumputan dirapikan, saat itulah obrolan Nara dengan mereka akan hilang. Semua ingatan rerumputan akan hilang, rekam peristiwa disana akan hilang, apapun akan hilang. Sangat tipikal dunia.
---
N. Regnbogi
Bandung, 11 Desember 2016
“Rumput-rumput, kalianlah saksinya.” Aku melemparkan penyataan pada rumput meskipun mataku menuju ke langit biru.
“Saksi akan apa?” mereka bertanya. Barangkali tak ingat. Aku lupa. Ingatan mereka hilang saat mesin berisik itu memotong ujung-ujung mereka. Aku membuang napas perlahan dan panjang, bingung harus menjelaskan dengan cara apa.
“Saksi akan apa, Nara?” rerumputan penasaran.
Aku melihat danau. Menyelami pikiranku kembali. Jika rumput tidak ingat, mungkin danau ingat. Tapi mengingat danau jauh beberapa meter disana, Nara tidak yakin danau mengingatnya. Barangkali danau hanya mengingat peristiwa ketika Nara kesulitan bernapas dan panik ketika tidak berhasil membalik perahu karet gembung super berat itu. Nara menyayangkan ingatan rumput yang harus hilang.
“Saksi akan apa, Nara?” rerumputan bertanya lagi. Nara bingung, sejak kapan rerumputan cerewet sekali.
Nara menceritakan kembali, sebuah peristiwa di bulan februari, bulan yang hanya mendapat angka 29 empat tahun sekali. Peristiwa yang terjadi itu—serta perasaanya—juga hanya ada satu kali seumur hidup Nara. Nara bercerita bahwa pada suatu waktu, saat kering berganti basah, coklat berganti hijau, sekarat berganti kehidupan, saat itu pula pengalaman Nara berubah, kebanyakan menjadi lebih banyak angin dan gigitan hewan buas. Tapi awal dari itu, selalu pada bulan Februari.
Nara bilang di bulan kedua itu, ia datang bergerombol, menginjak rerumputan disana dan disini dengan sepatu yang membuat kakinya menjadi aneh. Nara bilang ia jatuh cinta dengan rumput yang paling hijau. Rumput itu begitu terang, terlebih diantara awan-awan hitam. Itulah, peristiwa yang seharusnya diingat para rerumputan. Seharusnya Nara dan rerumputan mengobrol tentang bagaimana tanggapan rerumputan pada rumput yang satu itu. Apakah rumput yang satu itu sering menyakiti mereka? Membuat iri mereka? Lalu Nara dan rerumputan akan jatuh pada arena perdebatan. Masing-masing tetap mengibarkan pendapatnya tinggi-tinggi.
“Tapi kalian lupa.” kata Nara pada akhirnya.
“Sayang sekali kami mempunyai ingatan yang pendek.” salah satu rumput menunduk, sangat mirip seperti rumput yang hendak layu.
Nara tersenyum. Ia berkata tak apa-apa rerumputan tak mengingatnya, karena bahkan ia sendiri ingin kenangan itu hancur begitu saja tanpa bersisa.
“Mengapa, Nara?” rerumputan bertanya lagi, kali ini kompak dalam satu nada.
“Karena Nara pikir itu sudah tidak berharga lagi. Perasaan manusia sungguh misteri, karena bisa berbanding terbalik di waktu berikutnya. Seperti itu lah Nara pada rumput paling hijau. Jika dulu Nara sangat suka, hari ini Nara amat membencinya. Dan…, bagaimana bisa seorang makhluk fana membenci? Betapa rusaknya hati Nara.” Nara tersenyum getir.
Rerumputan berbisik-bisik. Nara tak bisa mendengar suaranya. Ia membawa ranselnya lalu melangkah pergi. Obrolan seperti ini akan hilang di hari esok, atau mungkin besoknya—entahlah. Saat rerumputan dirapikan, saat itulah obrolan Nara dengan mereka akan hilang. Semua ingatan rerumputan akan hilang, rekam peristiwa disana akan hilang, apapun akan hilang. Sangat tipikal dunia.
---
N. Regnbogi
Bandung, 11 Desember 2016
Komentar
Posting Komentar