Frustasi
Entah sudah berapa kali perempuan berkerudung merah itu menatap ke arahku lalu mendelik tidak suka. Setelah itu, napasnya dihembuskan kasar, seolah ia sudah menyerah dengan dunia. Kakinya terus digerak-gerakkan, tak sabar. Mukanya sudah berjam-jam tadi ditekuk masam. Tangannya sedang meremas-remas kertas kecil yang kutahu adalah nomor antrian. Aku rasa ia sedang memaki-maki dalam hatinya. Wajahnya memperlihatkan kekesalan yang tidak berkesudahan, tipikal orang-orang yang ada masuk ke tempat ini.
Aku sedikit bingung. Hari ini banyak sekali orang-orang yang datang kemari. Pagi hingga siang ini, kursi-kursi biru selalu penuh dengan manusia yang duduk menunggu gilirannya, lalu kesal karena proses yang tidak berlangsung secepat yang dikiranya. Gadis berkerudung merah itu juga bukan kecuali. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, namun gilirannya belum juga datang. Aku kira itulah mengapa ia selalu melihatku dengan tatapan tidak suka dan lelah.
Aku memerhatikan gadis berkerudung merah itu. Ia juga sepertiku, senang memperhatikan. Ia mengamati orang-orang yang ada di dalam ruangan ini satu per satu tanpa cela. Mulai dari seorang laki-laki dengan potongan rambut aneh yang duduk di seberangnya, ibu-ibu –sepertinya sih orang penting—yang terus mengeluh mengenai pekerjaannya sambil mengurusi uang-uang yang entah untuk siapa, hingga pekerja bank yang air mukanya sangat tidak bank-able, dengan kata lain, air mukanya sangat jutek. Aku sempat melihat gadis berkerudung merah itu kaget saat ia pertama kali datang.
Lihat! Ia melihat ke arahku lagi!
Seperti sebelumnya, ia melihat aku, lagi. Masih dengan tatapan yang sama, namun aku bertaruh tingkat frustasinya pasti meningkat beberapa persen. Ia menghembuskan lagi napasnya kasar. Ia melihatku lagi, lagi, dan lagi, lalu menggores-gores lantai dengan sepatunya.
Namun, segala frustasi yang mengendap dalam dirinya, kukira hilang saat teller memanggil nomor urut 32. Ia menghembuskan napas lagi, tidak kasar seperti sebelumnya, lebih halus. Kali ini ia menghembuskan napas lega.
Gadis berkerudung merah pun pergi, dan aku tetap disini, di tempat ini, berdetak bersamaan dengan waktu hingga bateraiku habis.
---
N.R.
Ditulis di:
Bandung, 3 Januari 2017
Dan
Majalengka, di hari pertama KKN, 5 Januari 2017
Aku sedikit bingung. Hari ini banyak sekali orang-orang yang datang kemari. Pagi hingga siang ini, kursi-kursi biru selalu penuh dengan manusia yang duduk menunggu gilirannya, lalu kesal karena proses yang tidak berlangsung secepat yang dikiranya. Gadis berkerudung merah itu juga bukan kecuali. Sudah lebih dari setengah jam ia menunggu, namun gilirannya belum juga datang. Aku kira itulah mengapa ia selalu melihatku dengan tatapan tidak suka dan lelah.
Aku memerhatikan gadis berkerudung merah itu. Ia juga sepertiku, senang memperhatikan. Ia mengamati orang-orang yang ada di dalam ruangan ini satu per satu tanpa cela. Mulai dari seorang laki-laki dengan potongan rambut aneh yang duduk di seberangnya, ibu-ibu –sepertinya sih orang penting—yang terus mengeluh mengenai pekerjaannya sambil mengurusi uang-uang yang entah untuk siapa, hingga pekerja bank yang air mukanya sangat tidak bank-able, dengan kata lain, air mukanya sangat jutek. Aku sempat melihat gadis berkerudung merah itu kaget saat ia pertama kali datang.
Lihat! Ia melihat ke arahku lagi!
Seperti sebelumnya, ia melihat aku, lagi. Masih dengan tatapan yang sama, namun aku bertaruh tingkat frustasinya pasti meningkat beberapa persen. Ia menghembuskan lagi napasnya kasar. Ia melihatku lagi, lagi, dan lagi, lalu menggores-gores lantai dengan sepatunya.
Namun, segala frustasi yang mengendap dalam dirinya, kukira hilang saat teller memanggil nomor urut 32. Ia menghembuskan napas lagi, tidak kasar seperti sebelumnya, lebih halus. Kali ini ia menghembuskan napas lega.
Gadis berkerudung merah pun pergi, dan aku tetap disini, di tempat ini, berdetak bersamaan dengan waktu hingga bateraiku habis.
---
N.R.
Ditulis di:
Bandung, 3 Januari 2017
Dan
Majalengka, di hari pertama KKN, 5 Januari 2017
Komentar
Posting Komentar