Ketika Sunrise Lebih Indah dari Sunset
Bertahun-tahun lalu, mungkin sekitar tiga tahun lalu, di
tempat yang entah dimana, gadis itu melihat matahari terbit yang paling indah
sepanjang masa. Bukan karena warnanya, bukan karena tempatnya, bukan karena orang-orang
yang sedang bersamanya. Keindahan itu ada karena ada sebuah hati yang terluka,
menjadi sembuh kembali tatkala sinarnya muncul. Keindahan itu ada karena ada
sebuah hati yang hampir binasa, hidup kembali dengan semangatnya. Pagi itu,
pagi-pagi sekali, sunrise mulai lebih indah dari sunset.
‘Pengkhianatan’ bukan kata yang tepat untuk apa yang terjadi
pada hati yang terluka itu, begitu juga ‘ketidakpedulian’. Khianat tidak pernah
ada sebab tidak pernah ada yang berjanji. Tidak peduli tidak pernah ada sebab
tidak pernah ada yang peduli. Namun, terabaikan, pernah ada karena pernah ada
yang abai padanya, pada hati yang hampir binasa oleh kesedihan.
Kesedihan, tidak pernah ada dalam referensi persahabatan,
kecuali jika persahabatan itu memang tidak didasari kepedulian. Gadis itu
selalu menutup mata akan kepahitan dari setiap ikatan, sampai ia terkena sendiri
racun paling mematikan: diabaikan, di perjalanan yang harusnya penuh semangat
bahagia. Ia duduk di kursi nomor 47 di sebuah bus pariwisata, sore hari, saat
matahari hendak menenggelamkan dirinya dalam kegelapan, ia menonton hujan saja
menuruni jendela, mendengar tawa-tawa renyah bahagia. Adakah yang lebih tega?
Tapi Tuhan tidak tega. Ia hadirkan pelita alam raya, entah
di kota apa, pelan-pelan mengganti subuh penuh gemintang tadi menjadi pagi yang
indah tiada dua. Tuhan tidak tega. Ia hadirkan mata alam raya lalu
menghembuskan anestesi melalui cahaya yang tidak terlihat mata.
Pagi itu, bersamaan dengan bangkitnya matahari, gadis itu
menyadari adanya harapan di hari baru. Adanya kehidupan baru di hari baru. Pagi
itu, luka kemarin-kemarin sudah berlalu. Hari itu, betapa matahari terbit lebih
indah dari matahari tenggelam.
---
Ditulis di Bandung, 1 Januari 2017
Komentar
Posting Komentar