Ksatria Tanpa Pedang
Dunia pernah mengalami badai sekali. Badai itu datang bersamaan dengan hujan, debu, dan monster yang kerap kali mendatangi tanpa aba-aba. Saat itulah sang ksatria sadar, ia membutuhkan senjata agar bisa tetap mereguk hidup, karena jika ia tetap diam saja, monster-monster itu akan datang kepadanya—membunuhnya. Sang ksatria saat itu bukanlah seorang ksatria, ia hanya manusia biasa. Ia mencari pandai besi lalu memintakan pandai besi untuk membuat pedang yang khusus untuknya. Sang pandai besi pun membuatkannya, namun bukan memakai besi. Pedang ksatria dibuat dengan bahan khusus yang bahkan tidak diketahui oleh ksatria sendiri.
“Khusus untukmu, yang akan mengarungi dunia, menerjang badai, hujan, debu, dan membasmi monster,” begitu kata sang pandai besi.
Sang ksatria yang saat itu bukan ksatria menerimanya dengan senang hati. Ia menimang-nimang pedangnya yang terasa begitu ringan untuk ukuran pedang. Sang ksatria tersenyum lalu memberikan seluruh bahan pangan yang ia punya. Ia hanya mengambil sedikit untuk bekal perjalanannya yang iapun tak tahu akan seberapa lama.
Sang Ksatria mencoba kehebatan pedangnya terlebih dahulu. Ia mencoba membelah batuan cadas dengan pedang itu. Sesuai perkiraan, batu cadas itu pecah belah tanpa membuat pedang sang ksatria tergores sedikitpun.
Sang ksatria pun menyiapkan perbekalan untuk perjalanannya menghadapi badai dan membasmi setiap monster. Setelah rampung, ia memulai perjalanannya. Pedang buatan pandai besi itu tentu saja menjadikannya ksatria yang kuat. Dengan pedang itu, sang ksatria sudah membasmi ratusan monster dalam berbagai bentuk. Pedang yang ada di tangannya adalah pedang pembunuh yang sudah menebas dan membantai monster-monster menakutkan. Bersamaan dengan pedang itu, sang Ksatria yang dulunya bukan Ksatria, telah menjadi seorang Ksatria.
Bukan perjalanan yang mudah. Bukan pula pertarungan yang mudah, walaupun dengan pedangnya sekalipun. Moster-monster yang ada tak hanya kuat fisik, namun juga hebat dalam taktik bertarung—mereka memiliki akal pikiran. Sang ksatria sering tergores, terkelupas, terluka, bahkan hingga hampir mati. Betapa perjuangan yang tidak pernah mudah. Betapa semua perjuangan bukan hal yang bisa diremehkan.
Namun sang ksatria terus melangkah maju, menebas satu per satu monster yang datang menghadang, membunuh monster-monster buruk asa. Sang ksatria terus berjalan hingga di perbatasan kegelapan dan cahaya, Seorang kurcaci membawakannya berita menyenangkan. Bahwa tidak ada lagi monster yang masih hidup di dunia. Kurcaci itu menunjuk jauh sekali, ke arah setitik cahaya yang berkelap-kelip. Mirip seperti bintang, hanya saja tidak berdiam di langit. Cahaya itu seperti matahari yang tenggelam, jauh di barat, tapi sudah pasti cahaya itu bukan matahari.
“Aku berhasil membasmi semua monster yang ada di muka bumi. Di bawah langit yang sama, aku sudah bilang ‘kan dulu?” sang Ksatria menengadah, berbicara dengan langit yang sudah mulai menggelap.
“Kau hebat! Kau memang benar-benar seorang Ksatria,” puji sang Kurcaci. “Siapa namamu sebenarnya?” kurcaci bertanya sambil membenarkan letak topinya agar tak menghalangi penglihatannya.
Sang Ksatria mengalihkan pandangannya ke arah Kurcaci lalu tersenyum. “Kau punya pakaian untukku?”
“Tidak.” Sang Kurcaci tetap menjawab meskipun ia tidak mengerti ke arah mana percakapan ini menuju.
Sang Ksatria tersenyum lagi, lalu melepaskan pakaian terluarnya yang lusuh dan penuh darah kering. Di baliknya, ia mengenakan kaos biru yang bersih. Ia juga melepaskan celana terluarnya yang keadaannya sama dengan pakaian yang tadi ia lepaskan. Di baliknya, celana hitam yang ia kenakan terlihar bersih berkilau seperti masih baru.
Sang Kurcaci diam kebingungan. Dahinya berkerut, dan setiap menit, kerutan itu bertambah banyak.
“Aku ingin menjadi diri yang baru. Hari ini, hari dimana para monster telah habis, adalah hari yang sangat kutunggu-tunggu, karena pada hari inilah aku resmi menjadi seorang Ksatria. Panggil aku Ksatria. Aku yang lalu bukanlah seorang Ksatria, tapi sekarang aku adalah Ksatria. Namaku ksatria, kurcaci.” Sang Ksatria tersenyum lebih lebar.
“Baiklah,” kata sang Kurcaci.
“Dan kuucapkan selamat tinggal pada pedangku. Ratusan—tidak, ribuan monster telah kutebas, kutikam, kuhabisi dengan pedang ini,” sang Ksatria memandang pedangnya penuh kekaguman. “Namun tidak layak senjata perang dibawa ke dunia yang telah damai, maka aku tinggalkan pedang ini disini,” lanjutnya.
Mata sang kurcaci membulat mendengar sang Ksatria akan membuang pedangnya. Namun ia setuju, senjata perang tidak berhak turut pergi ke dunia yang damai. Lalu sang kurcaci melihat sang Ksatria menancapkan benda berwarna perak itu ke tanah, berdekatan dengan pakaian bercorak darah kering yang turut dibuang.
Lalu mereka berpisah. Sang kurcaci pergi ke arah sang Ksatria datang, berniat menyebarkan kabar baik dan sang Ksatria ke arah sebaliknya, mengejar setitik cahaya di bagian barat. Mereka berjabatan tangan lalu berpamitan dan pergi. Meninggalkan titik buangan pedang yang kelak akan sangat legendaris di negeri tersebut.
Sang Ksatria merasa sangat senang. Perjalanannya di kali kedua tidak bertujuan untuk membasmi para monster. Kini ia ingin menuju arah cahaya terang di bagian barat. Cahaya itu tak sedikitpun berhenti berkilau walaupun kabut dan awan menyelimutinya. Selain itu, tanah yang ia pijak sekarang tidak lagi kotor, tanaman yang ada tidak lagi mati dan rusak. Sang ksatria kini memijak rumput-rumput hijau yang empuk dan terlihat sehat. Ia tidak sabar apa yang ada selanjutnya. Meskilah keindahan, dunia tanpa monster, dunia tanpa pertumpahan darah, dunia yang terang seperti cahaya yang tak redup digulung kabut.
Sang ksatria bahkan menemukan danau. Masih ada ikan-ikan disana. Ia menangkap beberapa lalu mengolahnya menjadi ikan bakar. Ia bersyukur tidak membuang pemantik apinya bersama pakaian kotornya. Ia menutup matanya, merasakan rasa nyata makanan yang layak dan segar. Rasanya sangat mengagumkan, batinnya. Air danau juga jernih dan sangat menyegarkan. Berbeda dengan sungai tempat-tempat sebelumnya yang beberapa sudah tercemar karena monster. Ia mereguk pelan air danau, lalu membasahi wajah, leher, dan tangannya pelan, menikmati kesegaran yang sebenar-benarnya.
Sang ksatria berjalan terus menerus. Tidak pernah lelah, tidak pernah berburuk sangka akan perjalanannya yang seperti tidak jelas tujuannya dan tidak pasti kapan sampainya. Barangkali karena segala keindahan dan kemudahan yang ia temukan dalam perjalanan, ia tidak mengeluh. Hanya merasa aneh. Hidupnya yang sebelumnya sulit dan keras mejadi serba mudah.
Sampai suatu hari ia sampai ke tepi hutan, bersiap memasukinya. Seorang pemuda yang kepalanya berdarah dan tangannya terlihat patah, datang berlari-lari, ketakutan, menabraknya hingga jatuh—kesakitan.
“Kamu kenapa?” tanya sang Ksatria, memegang kedua bahu pemuda terluka.
“Pergi! Sekarang juga! Lari!” mata pemuda itu memancarkan ketakutan yang nyata. “Monster-monster itu sudah sampai ke tengah hutan,” sambungnya.
“Monster apa? Bukankah mereka sudah musnah?” sang Ksatria bergerak tak jelas, resah.
“Biarkan aku pergi! Biarkan aku pergi!” tangan kanan pemuda itu menepis lengan sang Ksatria, mencoba melarikan diri. Sang Ksatria tambah resah. Ekspresi wajah pemuda itu sama persis seperti ekspresi orang-orang yang dahulu ia temui di perjalanannya membasmi monster. Sang Ksatria melakukan hal yang paling mustahil yang dilakukan seorang Ksatria, menampar pemuda tadi agar sadar.
“Ceritakan padaku dengan singkat dan jelas. Baru aku akan melepaskanmu. Jika tidak, jangan harap kau bisa kabur atau hidup lebih lama,” ancam sang Ksatria.
“Orang bodoh! Kau tidak lihat cahaya merah di ujung barat sana? Itu tandanya bagian barat sudah kalah, lihat juga cahaya merah di utara dan selatan! Para monster kini mulai menyerbu ke arah timur!” pemuda itu berteriak tak terkontrol.
Sang Ksatria melemahkan cengkramannya ke bahu pemuda itu. Pemuda terluka itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung pergi dari sana, meninggalkan tepi hutan untuk terus lari ke arah timur, meninggalkan sang Ksatria yang masih berpikir keras.
Kurcaci… pedang… monster… orang terluka…. Hal-hal itu berputar-putar di pikirannya.
“Sialan! Kurcaci itu monster! Taktik tipuan mereka berhasil!” sang Ksatria berdiri, buru-buru kembali ke arah timur. Berlari-lari, bahkan berhasil mengejar pemuda terluka tadi. Ia tidak yakin pedangnya masih berada di tempat ia meninggalkannya, namun ia yakin ia tetap harus pergi ke tempat itu—secepatnya.
Sang Ksatria berlari seperti orang kesetanan. Kemarahan, kekhawatiran, dan penyesalan menjadi kombinasi yang cukup agar ia terus berlari tanpa mengingat ia perlu mengisi perutnya dengan makanan. Ia ketakutan pedang itu akan dibawa si Kurcaci. Ia ketakutan desanya yang ada di bagian timur itu akan cepat diserang oleh para monster.
Setelah hampir pingsan, ia menyadari harus memakan sesuatu, atau setidaknya minum. Ia makan seadanya lalu mengambil persediaan minum sebanyak-banyaknya dengan plastik-plastik yang ia siapkan sejak dulu, sejak awal.
Tanpa ada yang tahu waktu yang ia habiskan ke tempat tujuannya, ia sampai di tempat itu. Tentu saja ia ingat, sebab di tempat itu, tanah berumput dan tanah berlumpur berbatasan. Di batas itulah ia menancapkan pedangnya yang sekarang entah kemana perginya. Yang ia lihat sekarang adalah warga desanya, yang sudah mati dan yang masih hidup, digiring ke sebuah tanah petak yang sudah dibatasi dengan percikan darah—entah darah milik siapa.
“Oh! Sang Ksatria sudah kembali!” kata seorang monster. “Bagaimana? Kau ingin ikut prosesi kali ini?”
Sang Ksatria menghela dan menghembuskan napasnya pelan-pelan dan teratur, berusaha menstabilkan emosinya. Tidak salah lagi, semua orang terluka yang dilihatnya saat ini adalah warga desanya. Ia mengatur napasnya lagi agar pikirannya jernih dan bisa mencari solusi semua kejadian ini. Ia tidak yakin menyerang mereka langsung karena jumhlah yang tidak sebanding dan ketiadaan pedangnya. Ia tidak bisa bertarung tanpa senjata. Ia adalah ahli pedang, bukan ahli bela diri dengan tangan kosong. Tiba-tiba saja ia merasa idiot sekali, merasa menyesal sekali. Andai ia lebih berhati-hati menghadapi tipuan-tipuan monster-monster itu.
Namun, kini penyesalan tidak berguna. Ia bahkan tidak bisa memikirkan satu solusipun agar bisa terbebas dari keadaan mendesak ini. Terlalu banyak berpikir bahkan membuat kewaspadaanya turun. Dari belakang, sang Ksatria merasakan pukulan keras di punggunya. Ia langsung terjatuh ke tanah dan seketika mendapat pukulan lagi. Kali berikutnya di wajah, lalu tendangan di perut, lalu pukulan di wajah lagi. Ia mencoba menahan serangan dari para monster, namun dirinya bahkan sudah dibuat lemah sejak datang pertama kali ke tempat itu. Berlari dan sekarang dihajar habis-habisan.
“Pedang terkutuk ini, yang sudah membunuh ribuan teman kami, akhirnya akan mengkhianati tuannya,” kata sang Kurcaci yang ia temui dulu. Kurcaci itu menyerahkan pedang itu pada tuannya, makhluk berbentuk antah-barantah. “Silakan, tuan.”
Tanpa banyak kata, tanpa banyak gaya, tuan sang kurcaci berjalan—atau menyeret dirinya sendiri—ke arah sang Ksatria. Dengan kecepatan tinggi, ia menusuk sang Ksatria. Pedang itu mencuat di punggung sang Ksatria. Makhluk itu kemudian menariknya, menusuknya kembali lalu memerintahkan pedang itu dibuang ke kawah gunung berapi agar hancur. Katanya, pedang itu adalah pedang terkutuk, karena pedang itu sudah mengambil ribuan nyawa monster dan nyawa tuannya sendiri. Makhluk yang dipanggil tuan itu juga memerintahkan sang Ksatria dibuang di tanah petak berisi mayat—dan orang-orang sekarat—tadi.
Sang Ksatria mencoba menahan sakit tubuhnya. Ia enggan mengeluarkan suara kesakitan di depan monster-monster biadab itu. Namun, erangan kesakitan lolos juga dari mulutnya saat ia dibanting ke area prosesi—entah prosesi apa. Darahnya ia rasai semakin berkurang dari tubuhnya. Ia yakin, sebentar lagi ia akan mati.
Masih mengerang, perlahan matanya mengucurkan air mata. Sakit dan sesal menyatu menjadi satu hingga ia tidak menyadari siapa yang berada di depannya. Tangan tua itu mengusap rambut hitam sang Ksatria lembut, menyentak kesadaran sang Ksatria. Pandai besi itu di tempat itu pula, dengan keadaan yang sama mengenaskannya dengannya.
“Kamu tahu? perjuangan itu tidak ada akhirnya, tidak ada istirahatnya,” kata Pandai Besi sambil menahan rasa sakit.
Sang Ksatria tidak bisa berkata-kata walaupun ingin. Kematian sudah mulai merayapinya. Air matanya bertambah deras, seperti darah yang meninggalkan tubuhnya.
“Perjuangan itu tidak ada akhirnya dan harus ditambah usahanya. Sampai disini saja. Sampai bertemu di lain kehidupan,” kata Pandai Besi. Ia masih mengusap rambut sang Ksatria. Mengantarkannya pergi.
Sang Ksatria sudah tak disini sejak kata terakhir si Pandai Besi terucap. Dengan terurai air mata, ia sudah kalah telak—sebab berhenti berjuang.
Selesai.
---
Untuk seorang yang berhenti berjuang. Jangan begitu. Mari cabut kembali pedangmu. Life is a never ending battle.
“Khusus untukmu, yang akan mengarungi dunia, menerjang badai, hujan, debu, dan membasmi monster,” begitu kata sang pandai besi.
Sang ksatria yang saat itu bukan ksatria menerimanya dengan senang hati. Ia menimang-nimang pedangnya yang terasa begitu ringan untuk ukuran pedang. Sang ksatria tersenyum lalu memberikan seluruh bahan pangan yang ia punya. Ia hanya mengambil sedikit untuk bekal perjalanannya yang iapun tak tahu akan seberapa lama.
Sang Ksatria mencoba kehebatan pedangnya terlebih dahulu. Ia mencoba membelah batuan cadas dengan pedang itu. Sesuai perkiraan, batu cadas itu pecah belah tanpa membuat pedang sang ksatria tergores sedikitpun.
Sang ksatria pun menyiapkan perbekalan untuk perjalanannya menghadapi badai dan membasmi setiap monster. Setelah rampung, ia memulai perjalanannya. Pedang buatan pandai besi itu tentu saja menjadikannya ksatria yang kuat. Dengan pedang itu, sang ksatria sudah membasmi ratusan monster dalam berbagai bentuk. Pedang yang ada di tangannya adalah pedang pembunuh yang sudah menebas dan membantai monster-monster menakutkan. Bersamaan dengan pedang itu, sang Ksatria yang dulunya bukan Ksatria, telah menjadi seorang Ksatria.
Bukan perjalanan yang mudah. Bukan pula pertarungan yang mudah, walaupun dengan pedangnya sekalipun. Moster-monster yang ada tak hanya kuat fisik, namun juga hebat dalam taktik bertarung—mereka memiliki akal pikiran. Sang ksatria sering tergores, terkelupas, terluka, bahkan hingga hampir mati. Betapa perjuangan yang tidak pernah mudah. Betapa semua perjuangan bukan hal yang bisa diremehkan.
Namun sang ksatria terus melangkah maju, menebas satu per satu monster yang datang menghadang, membunuh monster-monster buruk asa. Sang ksatria terus berjalan hingga di perbatasan kegelapan dan cahaya, Seorang kurcaci membawakannya berita menyenangkan. Bahwa tidak ada lagi monster yang masih hidup di dunia. Kurcaci itu menunjuk jauh sekali, ke arah setitik cahaya yang berkelap-kelip. Mirip seperti bintang, hanya saja tidak berdiam di langit. Cahaya itu seperti matahari yang tenggelam, jauh di barat, tapi sudah pasti cahaya itu bukan matahari.
“Aku berhasil membasmi semua monster yang ada di muka bumi. Di bawah langit yang sama, aku sudah bilang ‘kan dulu?” sang Ksatria menengadah, berbicara dengan langit yang sudah mulai menggelap.
“Kau hebat! Kau memang benar-benar seorang Ksatria,” puji sang Kurcaci. “Siapa namamu sebenarnya?” kurcaci bertanya sambil membenarkan letak topinya agar tak menghalangi penglihatannya.
Sang Ksatria mengalihkan pandangannya ke arah Kurcaci lalu tersenyum. “Kau punya pakaian untukku?”
“Tidak.” Sang Kurcaci tetap menjawab meskipun ia tidak mengerti ke arah mana percakapan ini menuju.
Sang Ksatria tersenyum lagi, lalu melepaskan pakaian terluarnya yang lusuh dan penuh darah kering. Di baliknya, ia mengenakan kaos biru yang bersih. Ia juga melepaskan celana terluarnya yang keadaannya sama dengan pakaian yang tadi ia lepaskan. Di baliknya, celana hitam yang ia kenakan terlihar bersih berkilau seperti masih baru.
Sang Kurcaci diam kebingungan. Dahinya berkerut, dan setiap menit, kerutan itu bertambah banyak.
“Aku ingin menjadi diri yang baru. Hari ini, hari dimana para monster telah habis, adalah hari yang sangat kutunggu-tunggu, karena pada hari inilah aku resmi menjadi seorang Ksatria. Panggil aku Ksatria. Aku yang lalu bukanlah seorang Ksatria, tapi sekarang aku adalah Ksatria. Namaku ksatria, kurcaci.” Sang Ksatria tersenyum lebih lebar.
“Baiklah,” kata sang Kurcaci.
“Dan kuucapkan selamat tinggal pada pedangku. Ratusan—tidak, ribuan monster telah kutebas, kutikam, kuhabisi dengan pedang ini,” sang Ksatria memandang pedangnya penuh kekaguman. “Namun tidak layak senjata perang dibawa ke dunia yang telah damai, maka aku tinggalkan pedang ini disini,” lanjutnya.
Mata sang kurcaci membulat mendengar sang Ksatria akan membuang pedangnya. Namun ia setuju, senjata perang tidak berhak turut pergi ke dunia yang damai. Lalu sang kurcaci melihat sang Ksatria menancapkan benda berwarna perak itu ke tanah, berdekatan dengan pakaian bercorak darah kering yang turut dibuang.
Lalu mereka berpisah. Sang kurcaci pergi ke arah sang Ksatria datang, berniat menyebarkan kabar baik dan sang Ksatria ke arah sebaliknya, mengejar setitik cahaya di bagian barat. Mereka berjabatan tangan lalu berpamitan dan pergi. Meninggalkan titik buangan pedang yang kelak akan sangat legendaris di negeri tersebut.
Sang Ksatria merasa sangat senang. Perjalanannya di kali kedua tidak bertujuan untuk membasmi para monster. Kini ia ingin menuju arah cahaya terang di bagian barat. Cahaya itu tak sedikitpun berhenti berkilau walaupun kabut dan awan menyelimutinya. Selain itu, tanah yang ia pijak sekarang tidak lagi kotor, tanaman yang ada tidak lagi mati dan rusak. Sang ksatria kini memijak rumput-rumput hijau yang empuk dan terlihat sehat. Ia tidak sabar apa yang ada selanjutnya. Meskilah keindahan, dunia tanpa monster, dunia tanpa pertumpahan darah, dunia yang terang seperti cahaya yang tak redup digulung kabut.
Sang ksatria bahkan menemukan danau. Masih ada ikan-ikan disana. Ia menangkap beberapa lalu mengolahnya menjadi ikan bakar. Ia bersyukur tidak membuang pemantik apinya bersama pakaian kotornya. Ia menutup matanya, merasakan rasa nyata makanan yang layak dan segar. Rasanya sangat mengagumkan, batinnya. Air danau juga jernih dan sangat menyegarkan. Berbeda dengan sungai tempat-tempat sebelumnya yang beberapa sudah tercemar karena monster. Ia mereguk pelan air danau, lalu membasahi wajah, leher, dan tangannya pelan, menikmati kesegaran yang sebenar-benarnya.
Sang ksatria berjalan terus menerus. Tidak pernah lelah, tidak pernah berburuk sangka akan perjalanannya yang seperti tidak jelas tujuannya dan tidak pasti kapan sampainya. Barangkali karena segala keindahan dan kemudahan yang ia temukan dalam perjalanan, ia tidak mengeluh. Hanya merasa aneh. Hidupnya yang sebelumnya sulit dan keras mejadi serba mudah.
Sampai suatu hari ia sampai ke tepi hutan, bersiap memasukinya. Seorang pemuda yang kepalanya berdarah dan tangannya terlihat patah, datang berlari-lari, ketakutan, menabraknya hingga jatuh—kesakitan.
“Kamu kenapa?” tanya sang Ksatria, memegang kedua bahu pemuda terluka.
“Pergi! Sekarang juga! Lari!” mata pemuda itu memancarkan ketakutan yang nyata. “Monster-monster itu sudah sampai ke tengah hutan,” sambungnya.
“Monster apa? Bukankah mereka sudah musnah?” sang Ksatria bergerak tak jelas, resah.
“Biarkan aku pergi! Biarkan aku pergi!” tangan kanan pemuda itu menepis lengan sang Ksatria, mencoba melarikan diri. Sang Ksatria tambah resah. Ekspresi wajah pemuda itu sama persis seperti ekspresi orang-orang yang dahulu ia temui di perjalanannya membasmi monster. Sang Ksatria melakukan hal yang paling mustahil yang dilakukan seorang Ksatria, menampar pemuda tadi agar sadar.
“Ceritakan padaku dengan singkat dan jelas. Baru aku akan melepaskanmu. Jika tidak, jangan harap kau bisa kabur atau hidup lebih lama,” ancam sang Ksatria.
“Orang bodoh! Kau tidak lihat cahaya merah di ujung barat sana? Itu tandanya bagian barat sudah kalah, lihat juga cahaya merah di utara dan selatan! Para monster kini mulai menyerbu ke arah timur!” pemuda itu berteriak tak terkontrol.
Sang Ksatria melemahkan cengkramannya ke bahu pemuda itu. Pemuda terluka itu tidak menyia-nyiakan kesempatan. Ia langsung pergi dari sana, meninggalkan tepi hutan untuk terus lari ke arah timur, meninggalkan sang Ksatria yang masih berpikir keras.
Kurcaci… pedang… monster… orang terluka…. Hal-hal itu berputar-putar di pikirannya.
“Sialan! Kurcaci itu monster! Taktik tipuan mereka berhasil!” sang Ksatria berdiri, buru-buru kembali ke arah timur. Berlari-lari, bahkan berhasil mengejar pemuda terluka tadi. Ia tidak yakin pedangnya masih berada di tempat ia meninggalkannya, namun ia yakin ia tetap harus pergi ke tempat itu—secepatnya.
Sang Ksatria berlari seperti orang kesetanan. Kemarahan, kekhawatiran, dan penyesalan menjadi kombinasi yang cukup agar ia terus berlari tanpa mengingat ia perlu mengisi perutnya dengan makanan. Ia ketakutan pedang itu akan dibawa si Kurcaci. Ia ketakutan desanya yang ada di bagian timur itu akan cepat diserang oleh para monster.
Setelah hampir pingsan, ia menyadari harus memakan sesuatu, atau setidaknya minum. Ia makan seadanya lalu mengambil persediaan minum sebanyak-banyaknya dengan plastik-plastik yang ia siapkan sejak dulu, sejak awal.
Tanpa ada yang tahu waktu yang ia habiskan ke tempat tujuannya, ia sampai di tempat itu. Tentu saja ia ingat, sebab di tempat itu, tanah berumput dan tanah berlumpur berbatasan. Di batas itulah ia menancapkan pedangnya yang sekarang entah kemana perginya. Yang ia lihat sekarang adalah warga desanya, yang sudah mati dan yang masih hidup, digiring ke sebuah tanah petak yang sudah dibatasi dengan percikan darah—entah darah milik siapa.
“Oh! Sang Ksatria sudah kembali!” kata seorang monster. “Bagaimana? Kau ingin ikut prosesi kali ini?”
Sang Ksatria menghela dan menghembuskan napasnya pelan-pelan dan teratur, berusaha menstabilkan emosinya. Tidak salah lagi, semua orang terluka yang dilihatnya saat ini adalah warga desanya. Ia mengatur napasnya lagi agar pikirannya jernih dan bisa mencari solusi semua kejadian ini. Ia tidak yakin menyerang mereka langsung karena jumhlah yang tidak sebanding dan ketiadaan pedangnya. Ia tidak bisa bertarung tanpa senjata. Ia adalah ahli pedang, bukan ahli bela diri dengan tangan kosong. Tiba-tiba saja ia merasa idiot sekali, merasa menyesal sekali. Andai ia lebih berhati-hati menghadapi tipuan-tipuan monster-monster itu.
Namun, kini penyesalan tidak berguna. Ia bahkan tidak bisa memikirkan satu solusipun agar bisa terbebas dari keadaan mendesak ini. Terlalu banyak berpikir bahkan membuat kewaspadaanya turun. Dari belakang, sang Ksatria merasakan pukulan keras di punggunya. Ia langsung terjatuh ke tanah dan seketika mendapat pukulan lagi. Kali berikutnya di wajah, lalu tendangan di perut, lalu pukulan di wajah lagi. Ia mencoba menahan serangan dari para monster, namun dirinya bahkan sudah dibuat lemah sejak datang pertama kali ke tempat itu. Berlari dan sekarang dihajar habis-habisan.
“Pedang terkutuk ini, yang sudah membunuh ribuan teman kami, akhirnya akan mengkhianati tuannya,” kata sang Kurcaci yang ia temui dulu. Kurcaci itu menyerahkan pedang itu pada tuannya, makhluk berbentuk antah-barantah. “Silakan, tuan.”
Tanpa banyak kata, tanpa banyak gaya, tuan sang kurcaci berjalan—atau menyeret dirinya sendiri—ke arah sang Ksatria. Dengan kecepatan tinggi, ia menusuk sang Ksatria. Pedang itu mencuat di punggung sang Ksatria. Makhluk itu kemudian menariknya, menusuknya kembali lalu memerintahkan pedang itu dibuang ke kawah gunung berapi agar hancur. Katanya, pedang itu adalah pedang terkutuk, karena pedang itu sudah mengambil ribuan nyawa monster dan nyawa tuannya sendiri. Makhluk yang dipanggil tuan itu juga memerintahkan sang Ksatria dibuang di tanah petak berisi mayat—dan orang-orang sekarat—tadi.
Sang Ksatria mencoba menahan sakit tubuhnya. Ia enggan mengeluarkan suara kesakitan di depan monster-monster biadab itu. Namun, erangan kesakitan lolos juga dari mulutnya saat ia dibanting ke area prosesi—entah prosesi apa. Darahnya ia rasai semakin berkurang dari tubuhnya. Ia yakin, sebentar lagi ia akan mati.
Masih mengerang, perlahan matanya mengucurkan air mata. Sakit dan sesal menyatu menjadi satu hingga ia tidak menyadari siapa yang berada di depannya. Tangan tua itu mengusap rambut hitam sang Ksatria lembut, menyentak kesadaran sang Ksatria. Pandai besi itu di tempat itu pula, dengan keadaan yang sama mengenaskannya dengannya.
“Kamu tahu? perjuangan itu tidak ada akhirnya, tidak ada istirahatnya,” kata Pandai Besi sambil menahan rasa sakit.
Sang Ksatria tidak bisa berkata-kata walaupun ingin. Kematian sudah mulai merayapinya. Air matanya bertambah deras, seperti darah yang meninggalkan tubuhnya.
“Perjuangan itu tidak ada akhirnya dan harus ditambah usahanya. Sampai disini saja. Sampai bertemu di lain kehidupan,” kata Pandai Besi. Ia masih mengusap rambut sang Ksatria. Mengantarkannya pergi.
Sang Ksatria sudah tak disini sejak kata terakhir si Pandai Besi terucap. Dengan terurai air mata, ia sudah kalah telak—sebab berhenti berjuang.
Selesai.
---
Untuk seorang yang berhenti berjuang. Jangan begitu. Mari cabut kembali pedangmu. Life is a never ending battle.
Komentar
Posting Komentar