1000 Kata 1 Cerita (1): Ketika Semesta Mengerut

Aku bertanya-tanya kenapa dunia sempit sekali, padahal aku selalu mencoba untuk tidak menyempitkan duniaku dengan tidak hanya main disitu-situ saja dan berdoa juga agar duniaku luas yang berarti tidak bertemu dengan orang yang itu-itu saja, tidak bertemu dengan orang-orang yang mengenal teman-temanku. Terlebih lagi, tidak mengenal orang-orang yang mempunyai relasi dengan pacar orang yang kusuka selama tujuh tahun.

Kurasa benar adanya bahwa seseorang yang sedang jatuh cinta bisa menjadi mata-mata super. Rasa-rasanya setiap informasi bisa diketahui secara detail, ditambah lagi zaman aku hidup sudah bukan zaman batu lagi. Dengan internet dan berbagai media sosial yang ada, aku bisa jadi tandingan seimbang Sherlock Holmes. Cih. Tidak juga sih, sebenarnya. Pokoknya, dari hasil stalkingku selama kurang lebih tujuh tahun, aku mengetahui banyak tentang orang yang kusuka. Hal-hal seperti dia anak keberapa, rumahnya dimana, seperti apa rupa papanya dan mamanya (namun kemudian lupa), siapa nama kakaknya, sekarang sekolah dimana dan jurusan apa, serta siapa pacarnya, lengkap dengan sekolahnya dan jurusannya.

Aku ingin menangis miris sebenarnya saat tahu pacar orang yang kusuka berada di almamater yang sama denganku, hanya saja ia berada di jurusan yang lumayan bergengsi. Aduh, apakah psikologi bisa disebut lumayan bergengsi? Mungkin sangat bergengsi adalah frasa yang cocok. Sebenarnya aku bersyukur juga, dunia kami tidak pernah ada di titik yang sama. Kami tidak pernah ada di lingkaran yang sama walaupun berada di tempat yang sama. Kalau sampai hal tersebut terjadi, aku bingung harus apa. Masa iya harus mendelik tidak suka. Aku kan tidak kenal. Bersikap biasa saja? Ya, boleh juga.

Sebentar, sebentar. Aku rasa aku tahu! Jika sampai kami berada dalam satu lingkaran yang sama, mungkin aku akan menyanyi saja. Lagu pilihanku adalah ini:

She’d better hold him tight,
Give him all her love,
Look in those beautiful eyes,
And know she’s lucky ‘cause
He’s the reason for the teardrops on my guitar,
The only thing that keeps me wishing on a wishing star,
He’s the song in the car,
I keep singing don’t know why I do…

Lalu aku akan menangis bombay dan menepuk pundaknya sambil berbicara, pelan sekali: si abang paling lucu di dunia dijagain yah, jangan sampe diembat orang. Susah lagi saya ikhlas-nya. Lalu aku akan menghilang ditelan udara dan tidak pernah menampakkan wajahku di depannya lagi, atau di depan dia lagi. Tidak akan ada pertemuan selama-lamanya. Dan, yak! That’s what universe must’ve been done to us: tidak mempertemukan aku dengan dia lagi.

Tapi untuk kesekian kalinya, dunia mengerut dan mengerut lagi hingga aku bertemu dengan Pipi Gembil, temannya pacar orang yang kusuka, perempuan yang super peka. Mungkin karena ia mahasiswi program studi Psikologi. Mungkin juga bukan, karena Pipi Gembil bilang semua orang juga sepeka dirinya. Tapi kalau semua orang sepeka dirinya, aku kira seni berbicara dengan tujuan ngode akan punah tak bersisa. Whoosh! Whoosh! Punah tak bersisa!

Saat aku tahu bahwa Pipi Gembil adalah mahasiswi jurusan psikologi, terjadilah percakapan seperti ini:

Aku              : Kenal, w?
Pipi Gembil : Kenal. Kenapa?
Aku              : Enggak kenapa-napa.
Pipi Gembil : Kamu temen SMA-nya?
Aku              : Bukan.
Pipi Gembil : Terus? Temen pacarnya?
Aku              : *dengan kebegoan yang hakiki* Iya.

Masalahnya, kenapa diantara semua kemungkinan pertanyaan yang diajukan seorang manusia, dalam kasus ini adalah Pipi Gembil, pertanyaan ketiganya merupakan sejenis panah yang menembus tubuh tepat di bagian jantung. Kenapa ia bisa berpikiran aku teman pacarnya sementara masih ada kemungkinan pertanyaan seperti “kamu temen SMP-nya?”, “terus, kenal darimana?”, “kamu temen SD-nya?”, dan pertanyaan-pertanyaan ‘normal’ lainnya.

“Kok kamu tahu sih?” aku bertanya sambil tertawa, bingung harus mengaku atau diam saja begitu. Tapi aku tahu sih, Pipi Gembil sudah bisa menyimpulkan apa yang terjadi. Dia kan peka banget!

Sambil memainkan handphone-nya, Pipi Gembil membalas, “Ya abis apa lagi coba?”

Apalagi, dia bilang? Apalagi? Sudah aku bilang! Dia memang super peka. Mana ada orang yang menembak tepat ke sasaran di percobaan kedua kali. Ya kecuali kalau dia Merrida si Puteri dari tanah Skotlandia. Kenapa aku jadi meracau? Karena aku suka mengacau! Terlebih mengacaukan kehidupan akademikku. Ehm, maaf.

Pertemuan dengan Pipi Gembil seru juga. Selain kembali mengingat makhluk paling lucu di planet Bumi, tiba-tiba aku bersentuhan dengan penyakit mental. Tidak secara langsung, sih. Hanya saja melalui drama korea hasil tukar-tukaran film dan hasil ngobrol-ngobrol santai di sofa rumah nenek yang nyaman saat gabut.

Sebagaimana orang-orang menganggap anak jurusan sastra Inggris sudah pasti pintar bahasa Inggris atau anak jurusan akuntasi sudah pasti pintar menghitung, aku rasa kami menganggap Pipi Gembil sebagai seorang psikolog karena suatu kali kami pernah menanyainya tentang yang kami anggap sebagai masalah. Si Cantik dengan ketakutannya pada darah, Si Jago Masak dengan sikap perfeksionisnya, dan aku dengan kemalasanku ngobrol yang kata Pipi Gembil sih tidak begitu, buktinya aku mengobrol lancar dengannya.

Selain itu, di waktu yang pas sekali, drama seri korea hasil tukar-tukaran ternyata bercerita tentang penyakit-penyakit mental, skizofrenia salah satunya. Aku sih baru mendengar nama itu dan penasaran apa itu skizofrenia sampai-sampai bertanya hingga dua kali ke Pipi Gembil.

Saat itu, sebelum tidur, aku bertanya pada Pipi Gembil yang tidur di sebelahku. “Ski..skizo..” aku berhenti sebentar untuk mengingat. “Skizo… Skizofrenia tuh apaan, sih?” tanyaku waktu itu.

“Ah! Pasti lagi nonton It’s Okay It’s Love ya?” sudah kubilang Pipi Gembil peka banget, kan? Atau dia hanya penggemar drama Korea biasa?

“Iya hehe,” kataku sambil nyengir.

“Itu tuh kayak halusinasi gitu, tapi beda-beda sih tiap orang yang punyanya. Tonton aja, ntar juga ngerti,” katanya.

Aku menggumam sendiri, menutup mataku bersiap menjemput mimpi.

Sebenarnya lucu sekali bagaimana semesta mengerucut saat aku ingin duniaku mengembang seperti kue bolu. Tuhan mempertemukan aku dengan jaringan-jaringan kehidupan orang lain (yang tiba-tiba bergabung dengan jaringan hidup milikku) sampai jaringan kehidupan saling menyambung satu sama lain.

Semesta yang mengerucut membuatku bertemu dengan Pipi Gembil, temannya pacar orang yang kusuka, di tempat dan waktu yang paling tidak terduga. Di akhir pertemuan kami, aku berharap Pipi Gembil nggak jadi gentong bocor, yang kalau ketemu pacarnya orang yang kusuka, malah menceritakan ada seorang gadis dari fakultas seberang yang nanya-nanya soal dia dengan tambahan fakta bahwa gadis itu naksir pacarnya, selama tujuh tahun pula! Tenang saja, aku sudah menyerah. Sebenarnya berusaha juga tidak pernah, sih.

Namun, satu yang pasti, semoga kali lain, kali berikut-berikutnya, semesta tidak mengerutkan duniaku ke arah mereka. Bisa tenggelam aku, tenggelam di lautan yang namanya cemburu atau sirik. Cukup Pipi Gembil saja.

Komentar

Postingan Populer