Seri Gelap (1): Tandingan Rasa Sakit
Pre-Note
Ada baiknya dibaca oleh orang yang sedang baik-baik saja.
Untuk yang tidak sedang baik-baik saja:
1. Cerita ini bukan contoh baik
2. Jangan pergi semudah karakter yang ada di cerita ini
3. Hidup ini tidak seharusnya menang melawan kamu
4. Hidup ini seharusnya tidak tertawa-tawa dengan kepergian kamu
5. “pergi” bukan hal yang bagus sama sekali. Itu hanya menambah alasan seseorang pantas untuk disiksa selamanya
6. Kembali ke satu-satunya yang peduli kamu, Tuhan
Bukan “pergi” inti dari cerita ini, apa yang ingin aku sampaikan lewat cerita ini. Bukan itu.
--
Cerita ini adalah satu dari tiga cerita dari seri Gelap. Akan ada tiga tulisan dari tiga perspektif berbeda, namun tetap berhubungan satu sama lain. Selamat membaca.
Epigraf
“The horror! The horror!” (Heart of Darkness)
I. Tandingan Rasa Sakit
Pertemuan adalah hadiah terindah bagi orang-orang yang mencari. Orang-orang mencari jati diri akan bahagia bertemu dengan diri sendiri, orang-orang yang mencari pantai, akan bahagia bertemu ombak, orang-orang yang mencari air terjun akan sangat bahagia bertemu dengan suara deru air. Pertemuan adalah hadiah terindah bagi orang-orang yang mencari, dan karena pencarianku panjang dan melelahkan, pertemuan ini sangat berarti bagiku.
Sebelumnya aku tidak pernah berniat mencari apa yang sebenarnya tidak boleh dicari. Namun, suatu hari, saat langit mendung dan tertutup awan-awan berat berisi air, pikiran itu tiba-tiba jatuh, bahkan mendahului air-air itu sendiri. Aku yang mengistirahatkan kepalaku di dekat jendela bis tiba-tiba mengangkat kepalaku. Mataku yang tadinya terpejam tiba-tiba terbuka. Pikiran itu merasukiku, membawa pikiranku bertamasya sebentar.
Kata orang luka fisik tidak lebih baik dari luka hati. Bagiku, keduanya saling mendukung untuk membuat seseorang berada di titik paling jauh yang pernah ditempuh seorang manusia. Kata orang banyak, luka fisik bisa disembuhkan, luka hati sulit disembuhkan. Tapi bagiku, luka-luka yang ada sangat berperan untuk suatu perasaan besar. Bagi Klara, sahabatku dulu, luka hati membuat kesehatan fisiknya turun hingga akhirnya ia pergi pulang. Bagi Kari, teman sepermainanku dulu, luka fisiknya membuatnya menjadi rumah virus berbahaya, dan karenanya, hati dan pikiran mulai pergi dari kewarasan. Bukankah luar biasa, apa yang bisa disebabkan luka?
Aku bukan orang tipe pertama seperti Klara, atau tipe kedua seperti Kari. Tapi aku bisa menjadi keduanya jika aku atau orang-orang mau, atau sama sekali tidak menjadi seperti keduanya, tapi menjadi tipe ketiga. Aku tidak tahu siapa yang sebenarnya menjadikan aku orang tipe ketiga, aku atau orang-orang di luarku.
Awalnya manusia. Selalu manusia. Aku tidak mengerti mengapa banyak manusia yang tidak seperti manusia. Mengapa manusia bisa sebegitu kejam pada manusia lain. Kenapa bisa ada kasus pembunuhan oleh manusia. Kenapa bisa ada kasus pembunuhan oleh orang-orang terdekat. Kenapa bisa ada perang antar manusia. Apa manusia sekarang kelaparan daging saudaranya sendiri? Atau haus darah jenisnya sendiri? Pertanyaan-pertanyaan itu mungkin hanya bisa kucari tahu sendiri, sebab tidak ada yang ingin bicara padaku sekadar menjelaskan. Sebab pernah aku bertanya, orang yang kutanya malah marah-marah, atau menaikkan alis sambil memandangku aneh. Aku tidak ingin bertanya apa-apa lagi. Aku lupa bahwa yang kutanyai adalah manusia. Dan aku bersikap seolah-olah aku bukan manusia.
Karena aku manusia, aku jadinya bisa berpikir. Pikiran yang menghampiriku di bis saat itu, aku mencoba mencari jawabannya sendiri pula.
Apa yang bisa mengalahkan luka di hati?
Aku melakukan beberapa percobaan setelah itu.
Percobaan pertama:
Saat itu aku mencoba dengan benda yang biasa mama pakai memotong buah-buahan. Pertama kali hanya satu garis. Satu garis yang tidak apa-apa, hanya goresan kecil tidak berarti. Tidak timbul apa-apa disana, bahkan bekas goresan saja tidak. Padahal jika aku ingat-ingat, dulu pernah tanganku tergores ranti kayu kering tanaman sekolah yang disimpan di koridor kelas. Sekali tanganku tergores, panjang hingga berdarah dan berbekas. Itu hanya ranting. Aku meletakkan kembali benda itu di lemari kaca tempat mama biasa menyimpan alat-alat dapurnya.
Percobaan kedua:
Dalam luka yang melintang dari sisi kiri ke sisi kanan, dalam merahnya trombosit yang melukis warna, aku mencobanya untuk yang kedua kali. Goresan kedua yang lebih panjang. Lalu goresan ketiga yang lebih pendek namun mengeluarkan darah, karena sedikit lebih dalam. Rasanya perih. Tapi tidak pernah seperih apa yang ada di hati yang nampak saja tidak. Sebenarnya dua sakit itu jenis dan rasanya berbeda, namun entah mengapa, kali ini rasa-rasanya sakit yang ada di sungai merah itu tidak ada apa-apanya dibanding apa yang ada di hati (yang keberadaan riil-nya tidak diketahui).
Percobaan berikutnya dan berikutnya, aku menambah jumlah sungai merah di lenganku. Lalu menambah satu buah di pahaku jika aku sedang dibuat menangis terisak-isak. Terus begitu hingga Rona dengan tiba-tiba menghampiriku dan mengajakku beribadah.
“Ibadah, yuk?” Rona tersenyum. Ia tidak menyebut namaku. Entah kapan terakhir kali orang lain menyebut namaku. Entah kapan terakhir kali aku sendiri menyebut namaku. Dan yang terpenting: Rona tidak tahu aku sudah lupa caranya beribadah.
“Aku nggak bisa,” kataku pelan.
“Loh kenapa nggak bisa? Ini udah istirahat kok. Yuk, mumpung kosong,” Rona tidak paham apa yang kukatakan. Rona mengajakku lagi. Ia menggamit lenganku. Aku merasa sakit, tapi aku tidak mengeluarkan suara.
“Tangan kamu kenapa? Kok bergetar gitu? Kamu nggak suka disentuh? Maaf ya,” kata Rona lagi. Aku tidak menjawab. Sebentar lagi mungkin ia akan pergi dengan teman-temannya yang biasa. Tapi sepertinya aku tidak melihat teman-temannya hari itu.
Aku salah. Memang selalu begitu. Rona meraih jaketku tanpa menyentuh kulitku lalu menyeretku ke tempat ibadah. Aku hanya menurut saja, seperti kerbau yang dicocog. Begitulah mama mendeskripsikan orang yang nurut-nurut saja—seperti aku. Rona melepaskan pegangannya ke jaketku dan menyuruhku membuka sepatu dan kaos kaki. Aku membuka sepatu dan kaos kaki lalu mengikutinya ke kamar mandi. Kenapa beribadah ke kamar mandi?
“Ambil air dulu, dong. Lepas jaket kamunya.” Ambil air?
Aku melepaskan jaketku dan menyampirkannya di gantungan paku di atas keran-keran. Lalu? Kata yang tidak pernah kuucapkan, dan tidak pernah terjawab karena saat aku berbalik ke arah Rona untuk meminta jawaban, Rona diam saja. Matanya menjadi besar. Jari-jarinya ditutupkan ke mulutnya. Di belakangnya, keran air mengucur besar. Tak lama beberapa orang datang dan meniru Rona. Beberapa di antara mereka berjengit. Apakah karena kaget atau karena jijik? Salah satu dari mereka, Fransis – aku tahu dia – tersadar duluan lalu menyentuh tanganku. Aku meringis.
“Apa-apaan nih?” dia melepaskan begitu saja. “Jangan sok-sok-an depresi deh lo.”
Tiba-tiba aku merasa sedih dan luka itu tiba-tiba muncul lagi. Aku kira tingkat kesakitannya meningkat. Jangan tanyakan bagaimana aku tahu itu. Sedetail apapun aku menjelaskannya, kau tetap tak akan pernah bisa merasakannya. Setidaknya itulah yang aku tahu. Rasa sakit dan luka seseorang adalah miliknya sendirian. Manusia sepertinya terlalu egois hingga lukanya saja hanya bisa dinikmati sendirian.
Aku pergi. Sendirian. Tidak lupa memakai jaket kembali. Berada di sana membuat rasa sakit kembali menguat. Mungkin efek tatapan mereka? Atau efek kata-kata dari Fransis?
Saat rasa sakit kian menjadi, aku mencari lagi di percobaan-percobaan selanjutnya, sebuah tandingan rasa sakit di hati, hingga suatu hari aku tidak sanggup pergi ke sekolah karena sakit di sekujur tubuhku. Tapi sakit itu ternyata belum sampai mengalahkan sakit di hati. Mama mengira aku demam, tapi badanku tidak panas. Aku hanya bilang aku mungkin hanya masuk angin. Mama bisa pergi bekerja, begitu pula papa. Aku tidak butuh dijaga, kataku waktu itu. Mama percaya, papa juga. Tentu saja, aku memang selalu baik-baik saja terlepas dari sakit hati dan dan sakit badan.
Aku bersyukur tak bisa bangkit dan pergi ke sekolah. Jadi aku tidak harus bertemu Bu Ergaris lagi. Kemarin ia membuatku sedih lagi. Sepertinya anak bodoh nan buruk rupa sepertiku tidak menyenangkan hatinya. Tentu saja. Kemarin siang, beliau menyebut presentasiku secara tidak langsung sebagai produk gagal. Ia bahkan tidak mau melihat slide presentasi ke tiga, ke empat, dan ke limaku. Next, next, next, begitu katanya. Aku sedih sekali. Sepertinya kesempatan sudah tidak mau ya bertemu denganku, sama seperti makhluk lainnya.
Saat percobaan terakhir, aku menekan lebih dalam, lebih dalam, dan lebih dalam di pergelangan tanganku. Warna kesukaanku tiba-tiba ada dimana-mana. Lengan, selimut, tempat tidur. Beberapanya mungkin terpercik ke lantai. Aku menggeliat-geliat kesakitan sebelum rahasia kehidupan (atau rahasia kematian?) menghampiri dan aku pergi begitu saja padahal aku belum mengatakan pada mama dan papa betapa sayangnya aku pada mereka dan aku minta maaf selalu menjadi beban yang absolute bagi mereka. Aku tidak sempat pamit, tapi aku menemukan apa yang kucari.
Aku pernah mencari, sejauh-jauhnya mencari hingga aku bisa bebas dari kungkungan dunia terkutuk ini, bebas dari orang-orang yang menyebut diri sendiri manusia. Bebas dari segala rupa dunia fana dan antek-anteknya. Aku mencari sejauh-jauhnya lalu suatu hari menemukannya. Pertemuan itu singkat dan kututup dengan senyuman manis (manis?) di wajahku sebagai penghargaan tertinggi akan pencarian yang berbuah pertemuan.
Pertemuan dengan kematian..
Pencarian adalah sebuah perjalanan menyakitkan dan penuh emosi. Begitulah sebenar-benarnya pencarian yang kutempuh dalam rangka mencari tandingan rasa sakit dalam dada. Sakit, emosi, rasa bersalah, kecemasan, semua datang silih berganti, namun selalu pasti. Kematian merupakan sebuah kulminasi rasa sakit, tandingan yang pantas, bahkan lebih dari rasa sakit yang aku rasakan selama ini.
Akhirnya, aku telah mati.
Pada akhirnya, aku mati.
---
Post-Note
Be careful what you say to other souls.
Who knows somebody around you is one step closer to give up, or want to die,
Or just simply (simply?) hurt.
--
Untuk orang-orang yang pernah “membunuh” saya.
Komentar
Posting Komentar