The Very First Official Curhat of NR: 6
Sorry for this curhat
section, but I need to write this HAHA.
Janji kok, hanya ini
aja. Muehehe.
Nulis di platform
lain kepanjangan soalnya :(
The Very First Official Curhat of NR: 6
“I have hated the words and
I have loved them,
I have loved them,
And I hope I made them right.”
Liesel Meminger, The
Book Thief
It is such a blessing that after all these stormy and rainy
day, sixth semester meets its end. Sangat, sangat, sangat banyak pelajaran dan
ilmu baru yang didapat selama menempuh semester 6. Mulai dari ilmu baru di dunia
akademik, seputar jurusan, sampai hal yang baru-baru ini mengikat dengan
rantai-rantai tak terlihat haha. Mulai dari terjemahan dan segala busuk-busuk
dan pertimbangannya hingga belajar bikin berita dan tahu jenis-jenisnya.
Semester 6 bisa disebut semester khusus terjemahan saking
banyaknya mata kuliah terjemahan yang ditawarkan. Aku sendiri mengambil lima
kelas terjemahan (uwuwow), TScET, TScIT, ST, LAiT, dan LIT. Yang paling pahit
adalah kelas LAiT (Linguistic Aspects in Translation) HAHA dan yang paling
berkesan tentu aja LIT (Literature in Translation). Literature in Translation
berkesan karena di kelas itu, aku dapat banyak haha. Diajar oleh dosen yang
jago to the moon and back (?) masalah terjemahan, Pak R, di kelas LIT aku tahu
bahwa terjemahan bukan hanya soal menerjemahkan suatu teks dari bahasa Inggris
ke bahasa Indonesia atau sebaliknya. Terjemahan itu soal seni, budaya, politik,
semua apa yang teks ingin sampaikan dan kamu ingin sampaikan.
Bahwa menerjemahkan itu tidak asal jadi, tapi melalui BANYAK
BANGET pertimbangan-pertimbangan. Kenapa diterjemahkan jadi kata ini, kenapa
kayak gini, kenapa kayak gitu, ternyata semua ada alasannya. Dan tahu juga lah
terjemahan itu tidak hanya diantara penerjemah dan buku, tapi antara
pemerintah, penerbit, dan industri juga. Bagaimana tidak semua buku boleh dan
bisa diterjemahkan karena ada pemerintah yang sejenis ‘menyeleksi’ dan ada
penerbit yang tentu milih dong buku mana yang berkualitas sekaligus laku di
pasaran.
Pernah pula di kelas menerjemahkan novel sejuta umat-nya
Jane Austen, Pride and Prejudice, yang ternyata untuk menerjemahkan 1 bab novel
ini pertimbangannya banyak banget. Apakah Mr. dan Mrs. Diterjemahkan jadi Tuan
dan Nyonya atau tetap seperti itu? Atau diterjemahkan jadi Pak dan Bu? Satuan
uangnya dibuat jadi lebih umum di pembaca Indonesia nggak? Atau bahasanya
ala-ala novel lama (mengingat Pride and Prejudice diterbitkan tahun sekian)
atau ala-ala novel romance zaman sekarang? Pak R pernah bilang jika ia yang
menerjemahkan, ia akan buat bahasanya ala-ala bahasa novel Siti Nurbaya, tapi
ia juga bilang, hal itu juga ada urusannya sama penerbit. Apa penerbit setuju
kalau terjemahannya pakai bahasa sastra lama? Siapa tahu penerbit tidak setuju
karena takut ‘terlalu berat’ untuk pembaca Indonesia. “See?” he said.
Pada akhirnya sadar menerjemahkan itu bukan pekerjaan asal
dan mudah, apalagi menerjemahkan karya sastra! Haha! (You have to know that it
is extremely hard to translate A poem). Selain itu, di kelas translating lain,
setelah nggak cuma menerjemahkan, tapi juga menganalisis, jadi sadar betapa
terkadang hasil terjemahan itu bisa berbeda, tentu aja, tapi maksudku bikin
beda karena kadang honorific atau frasa bahasa tradisional atau ungkapan khas
yang artinya ngena banget itu bisa tiba-tiba biasa aja. Kelas terjemahan lain
terasa biasa aja karena mungkin lebih menerjemahkan teks-teks serius, ya nama
mata kulihanya aja Translating Scientific English Text sama Translating
Scientific Indonesian Text. Dan di kelas Specialized Translation, aku memilih
jalan ninjaku (eh:( maafkan) untuk jadi penerjemah yang mengkhususkan diri di
literary translation, karena literary translation menantang sih, susah sekali,
tapi kalau berhasil indah kali muehehe.
Selain mata kuliah terjemahan, mata kuliah survey juga nggak
kalah berkesan. Survey of Contemporary Literature in English dan Survey of
American Literature adalah kelas yang memperluas wawasan, sebagaimana kelas
sastra yang lain selalu begitu ehehe. Jadi tahu kemungkinan orang Eropa nggak
suka sama orang Yahudi, jadi tahu apa itu stream-of-consciousness, absurdity,
masalah-masalah rasial di Amerika, reaksi rakyat Burma ke orang Eropa, gothic,
naturalis, bahkan tentang sistem ekonomi yang bikin megap-megap karena betapa
rakyat Indonesia dimanfaatkan habis-habisan :(.
Semester ini luar biasa, karena di semester ini juga aku
mendapat jawaban dari dua pertanyaan yang terus terputar di kepala: apa
pendapat orang-orang yang belajar filsafat tentang Tuhan, dan bagaimana bisa
kita berniat berkegiatan untuk Allah padahal kegiatan kita nggak ada kaitannya
sama Allah (gimana ya ngomongnya, nggak ada benefitnya gitu buat Allah, jadi
kenapa karena Allah?). Nah, di semester ini pertanyaan ini terjawab! Kebetulan
aku ambil kelas Dasar-Dasar Filsafat dan dosennya, Pak F, sangat luwes banget
menjelaskan semuanya. Enak, bisa dimengerti, dan tanpa banyak menyudutkan
ajaran suatu agama. Suatu hari, pak F pernah menjelaskan keberadaan Tuhan, ada
atau tidak ada. Jawabannya tentu aja ada. Yaaa, ibaratkan penghapus, katanya,
mencari benda terdekat. Penghapus ini kita lihat, kita tahu ada. Nah pas kita
ke luar kelas, kita memang nggak lihat wujudnya penghapus itu, tapi kita tahu
kan penghapus itu ada, di kelas. Begitu pula Tuhan. Tuhan ada, cuma nggak bisa
kita lihat. And I’m forever grateful for that answer, Pak F.
Pertanyaan kedua, bagaimana bisa kita berniat berkegiatan
untuk dan karena Allah padahal kegiatan kita nggak ada kaitannya sama Allah.
Melalui suatu postingan di line, entah postingan siapa (ku lupa), katanya
berniat berkegiatan karena Allah itu semudah, sesederhana: Kuliah diniatkan karena Allah. Kan Allah suka orang yang mencari ilmu.
Sesederhana itu. And, once again, I’m forever grateful for that answer.
Di semester 6 ini juga, saat aku jadi reporter Warta Kema,
aku belajar banyak banget soal tulisan jurnalistik haha. Aku yang dulu-dulu,
nulis berita formatnya pakai format essay HAHAHA (ampuni aku hh), yang thesis
statement – body – conclusion, dan kemudian ada saatnya setor tulisan ke
redaktur online, R. R nanya, yang paling terakhir siapa yang bilang? Dan yaaa,
kujawab apa adanya dong, itu conclusion *me: sweating, for realizing there’s
something wrong*. Lalu pada akhirnya R ngasih tahu, di tulisan berita kayak
gitu, nggak boleh ada conclusion. Ya Robb, malu anak bawang ini karena
bisa-bisanya nyamain tulisan jurnalistik sama format essay yang dulu dipelajari
di kelas Essay Writing wkwk:(.
Tapi di WK, pengalaman nggak sampai disitu. Banyak
sebenarnya, tapi yang paling berkesan adalah ada yang mengkritik tulisanku!
Huehehe. Tulisan berita lagi, dan kali
itu ada yang sebut tulisanku kayak tulisan Humas Unp** yang suka ditulis di
website universitas… hm… sedih tapi ingin ketawa juga :( Sedih karena yaaa
memang di saat-saat mahasiswa dan pihak kampus sedang berkonflik, tulisanku
rasanya condong ke pihak kampus dan seperti yang kritikus tadi sebutkan secara implisit
di kolom komentar, tulisanku “tidak mencerdaskan” huehehe. Tapi ingin ketawa
juga karena aku tahu kenapa tulisanku dianggap seperti tulisan Humas kampus. Karena
saat itu, di salah satu kelas terjemahan, bu A sedang betah-betahnya nyuruh
mahasiswa/i menerjemahkan artikel bahasa Indonesia di website kampus ke bahasa
Inggris. See? *half-crying, half-laughing*.
After all, being a reporter in WK is the best thing in sixth
semester. It makes me realize what I want to be, what I enjoy, what I love. Aku
ingin jadi jurnalis disamping penulis, editor, dan penerjemah, dan aku sadar
aku harus banyak belajar karena kualitas tulisanku masih jauh di bawah tulisan
anak-anak jurnalistik. God, their review
are more badass than mine :3 Aku pun tambah semangat melihat
redaktur-redaktur WK (D dan W) yang basic-nya bukan anak jurnalistik, tapi anak
ilmu perpustakaan dan anak kedokteran gigi bisa menghasilkan tulisan yang bagus
dan mendekati tulisan-tulisan anak jurnalistik. Bahkan, redaktur cetak dan
pimred (H dan A) yang bukan anak jurnalistik, tapi anak ilmu sejarah dan anak
hubungan internasional pun tulisannya sekelas anak-anak jurnalistik. Mereka
keren dan aku pun nggak sabar ingin terus belajar biar berada di level mereka.
Semester 6 ditutup dengan UAS yang bikin repot. Aku jadi
mengerti deh saran Bu S yang lebih mementingkan ‘menggendutkan’ sks, bukan
mengambil mata kuliah sebanyak-banyaknya. Aku ya termasuk yang kedua itu loh,
hehe. Alhasil semester ini ada total 11 mata kuliah yang diambil dan UAS yang
biasanya bertebaran paper di sana-sini tambah menggila di semester ini HAHA.
Entah ada berapa matkul yang meminta pelengkap UAS (read: paper). Paper + ada UASnya
juga + deadline yang berimpitan(?) + nggak enak badan di masa UAS + sedang
berpuasa = paduan yang membuat semester 6ku luar biasa.
Tugas terakhir yang dikerjakan adalah Paper Amlit, diselesaikan
tanggal 19 Juni, hari ini dan dengan begitu berakhir pula semester 6 ini yeay!
Semoga kuat, tabah, hebat, kerja keras dengan maksimal, dan
semangat di semester berikutnya yang akan lebih gila, bikin capek, dan kurang
tidur. CT, PNM, ItD, PD, insyaAllah kita ketemu yaa. Please be kind to me
*weeping*. Dearest CT, jangan lagi ada E diantara kita (HAHA).
Dear pembaca, maafkan membuatmu membaca curhatan gak jelas
yang perlu ditulis ini, sebab kalo nggak, kubisa gila. Bukankah tagline blog
ini, “here’s madness lies peacefully” untuk mengubur kegilaan-kegilaan biar
yang di luar jaringan ini ndak gila? Hehe. Peace.
Komentar
Posting Komentar