1000 Kata 1 Cerita: Silence

Silence was not quiet or calm, and it was not peace.” –Markus Zusak, The Book Thief

Dunia ini pabrik lelucon. Sungguh. Sudah berapa juta komedi dihasilkan dari mereka-mereka yang menyebut diri mereka manusia. Sudah berapa juta kali pula orang-orang menjadi objek lelucon murahan mereka. Benaknya bertalu-talu pada kenyataan itu, apalagi saat ini ia sedang melihat kejadian tidak menyenangkan, seorang gadis yang mungkin berumur 13 atau 14 sedang diejek oleh teman-temannya, mungkin saja. Ia sangsi mereka berteman. Dan gadis itu hanya diam saja seolah kata-kata jahat teman-temannya tidak pernah ia dengar. Gadis itu seolah tuli. Pandangannya berfokus ke pemandangan di luar jendela bis yang sedang melaju ini.

Kla menatap gerombolan laki-laki berseragam putih-biru itu tajam, berharap pandangannya saja bisa memotong-motong mulut mereka agar mereka tidak bisa lagi bicara, tapi mereka bahkan tidak menyadari pandangan Kla yang sedari tadi seolah-olah ingin menjadikan mereka sate. Kata-kata tajam gerombolan laki-laki itu tetap mengotori udara sejak dua puluh menit yang lalu. Kla tidak tahan mendengar kata-kata itu dan ingin menyumpal mulut mereka, namun ia sadar, ia bukan siapa-siapa dan itu bukan urusannya. Tapi Kla tidak bisa diam saja. Setelah lima menit berpikir, ia berpindah tempat duduk ke sebelah gadis tadi.

Gadis itu menoleh merasakan udara di sebelahnya terisi.

“Halo,” Kla menyapa gadis itu.

“Halo, kak. Ada apa?” gadis itu menjawab pertanyaan Kla dengan sopan. Ternyata gadis itu tidak tuli. Sudah pasti ia mendengar ocehan-ocehan gerombolan tidak penting itu.

“Mmmh…” Kla panik. Ia merutuki dirinya sendiri yang tiba-tiba mengajak ngobrol tanpa rencana. Kla masih berpikir saat gadis berambut hitam di sebelahnya melempar raut wajah yang bingung. “Duh, aku bosen, deh. Temenin ngobrol, dong, kamu. Kamu siapa namanya?” tanya Klara akhirnya.

Sejenak, gadis itu tampak ragu, lalu membalas Kla, “Aku Nana, kak.” katanya singkat.

“Oh Nana ya. Nama aku Kla, kenalin yah,” Kla memaksa menjabat tangan Nana. Nana tampak kaget dan… takut? “Ih, nggak usah takut gitu deh ya ampun. Emang aku kayak penjahat ya?” Kla memperhatikan penampilannya sekali lagi.

“Nggak, kak.” kata Nana singkat. Kla melihat Nana sudah agak tenang.

“Kakak cantik emang nggak kayak penjahat, tapi di samping kakak cantik tuh yang penjahat,” sebuah celetukan tiba-tiba mengudara dari gerombolan anak SMP tadi. Kla mengerutkan dahinya bingung.

“Banyak yang mengira aku pencuri, kak. Kalau kakak juga percaya, silakan pindah tempat duduk aja. Kak Kla mungkin gak mau ada barang-barang yang tiba-tiba hilang?” Nana menganjurkan Kla pindah tempat duduk. Ekspresi wajahnya dingin, tak ada apapun disana. Tidak ada senyuman, tidak ada kesedihan, tidak ada apapun. Ekspresi Nana layaknya kehidupan di gurun pasir, terlihat tidak ada.

Kla diam saja, menimbang-nimbang saran Nana yang seperti ingin mengusirnya pelan, yang seperti ingin sendirian, di kegelapan. Sebenarnya ia tidak takut kehilangan barang apapun. Kla sudah tidak peduli lagi pada apa yang ia punya dan apa yang hilang semenjak ia menyadari tidak ada yang terlalu berarti di dunia ini.

“Emangnya Nana bener-bener pencuri?” tanya Kla. Ia melihat kepala Nana berbalik ke arahnya lagi.

“Kalau aku bilang nggak, apa kak Kla bakal percaya? Atau, kalau aku bilang iya, kak Kla bakalan percaya?” Nana malah balik bertanya pada Kla.

“Apa untungnya aku percaya atau nggak?” pertanyaan dibalas pertanyaan, tidak akan pernah ada jawaban.

“Nggak ada. Everything means nothing, kak.” kata Nana lagi. Ia kembali menatap pemandangan di luar jendela.

Tiba-tiba saja, saat Nana selesai mengatakan everything means nothing, Kla merasakan kejut listrik di hatinya dan ingin menangis. Di dunia ini, hanya Kla yang boleh merasakan semuanya tidak berarti. Orang lain tidak boleh, apalagi gadis berambut hitam itu, Nana. Kla memandangi Nana dari sisi-nya.

Nana menatap lurus ke depan, bukan pada pemandangan, tapi tanpa objek yang jelas. Ia hanya menatap lurus. Tidak ada apa-apa yang ia lihat di luar sana. Nana memandang ke arah lain, ke suatu titik yang tak bisa dilihat manusia lainnya. Tapi, Kla bisa melihatnya, melihat titik yang dilihat Nana, suatu perasaan yang melewati batas. Kemarahan yang saking besarnya, sudah melewati batas kemampuannya menahan amarah. Kesedihan yang menembus batas hingga menjadi rasa tidak peduli. Semua-semua teriakan yang menembus batas menjadi keheningan. Kla menyadari. Nana tentu saja tidak tuli, ia hanya tidak peduli. Nana bukannya tidak ingin membalas ocehan-ocehan gerombolan anak SMP tadi, hanya saja teriakan-teriakannya sudah menjadi diam tak peduli.

Mata Kla memanas, namun ia setengah mati menahannya karena ia sudah bersumpah tidak akan pernah menangis lagi.

“Na, Nana, Nana, temenin ngobrol Kla, dong. Bosen nih,” Kla bicara lagi.

Nana menoleh lagi pada Kla. Pandangannya sama seperti sebelumnya, pandangan yang penuh tanya. Kla bukan cenayang. Ia juga tidak punya kekuatan tambahan seperti sixth sense atau kemampuan membaca pikiran seperti yang dipunyai Julian di cerita Juni. Tapi, Kla merasa ia benar-benar tahu pertanyaan apa yang ada di pikiran Nana sekarang. Itu pasti pertanyaan sejenis, “mengapa dia masih disini? Mengapa dia tidak pergi seperti semua orang pergi meninggalkan aku?” Setidaknya itulah perkiraan yang benar-benar Kla yakini dan memang benar-benar hal itu yang ada di pikiran Nana.

“Kak Kla nggak takut barangnya hilang?” tanya Nana, dengan suara yang rendah.

“Lah? Kan everything means nothing, Na?” Kla tertawa kecil, tapi bagi Nana itu jenis tawa yang indah. Jenis tawa paling murni yang pernah didengar Nana.

Nana tersenyum kecil.

“Kamu sekolah dimana, sih? Sering liat deh seragam ini tapi SMP mana, ya?” Kla mulai bertanya lagi.

“SMP Bintang Utara, kak.” Jawab Nana.

“Oh… Bintang Utara. Itu masih jauh dari sekolah aku dong, ya?”

“Sekolah kakak dimana emangnya?” tanya Nana.

“Institut Teknologi Bububu, Na. Jurusan Astronomi.” Kata Kla.

Nana mengangguk-anggukkan kepalanya lalu bertanya-tanya mengenai astronomi pada Kla, mengenai apakah astronomi adalah yang ramal-ramalan itu. Kla tertawa keras saat Nana bertanya hal itu. Jurusannya memang sering disalahpahami sama seperti Astrologi, padahal Astronomi dan Astrologi jelas berbeda. Obrolan yang ada di antara Kla dan Nana hanya seputar astronomi, seputar planet, bintang, supernova, dan galaksi.

Menyadari mereka semakin dekat dengan perpisahan, Kla membuat Nana menyimpan nomor telepon dan semua sosial medianya. Untuk ngobrol. Jangan lupa disimpen ya, kata Kla. Nana mengangguk kecil. Kla pamit sebelum bis sampai di halte sekolahnya. Nana mengangguk kembali. Saat Kla hendak turun dan melambaikan tangan, Nana membalasnya ragu-ragu. Kla melihat Nana kembali terdiam sambil memandangi pemandangan di luar jendela.

Melihat itu, Kla bertekad mengajak Nana banyak bicara dan mengobrol. Sebab, ia tahu, silence is not quiet or calm, and it is not peace*, tapi diam itu kehampaan. Diam itu semua rasa yang telah melebihi batas wajar dan batas maksimal. Diam itu kuburan suara-suara yang butuh bantuan. Diam itu bukan kedamaian. Jauh dari itu, diam itu apa yang dunia ini perbuat pada jiwa-jiwa lemah dan rapuh. Nana tentu termasuk ke dalamnya, begitu pula Kla yang dulu. Tapi itu kesalahan Kla yang dulu. Kali ini Kla tidak mau hanya diam. Kini, tidak boleh lagi ada silence.

---
Didedikasikan untuk kamu, yang ramai dalam diam.

---
*diambil dari novel The Book Thief yang dimodifikasi menjadi present tense.
---
Kayaknya cerita ini kecepetan, ya nggak sih?
Kayak balapan. Terlalu buru-buru.
Tapi aku agak bingung bagaimana mengeksekusi akhir-akhir cerita.
Hm. Aku harus banyak-banyak-banyak banget belajar.
Bantuin dong! Haha.

If you don’t mind to help me, mari kita berkorespondensi lewat dinarniall13@gmail.com :)

Komentar

Postingan Populer