Mengunjungi Dongeng #1
Kamu non-fiksi
menjelma menjadi fiksi.
Kamu ada dari
ketiadaan lalu tiada setelah ada.
Kamu gelombang laut,
tiba-tiba menjadi
gelombang elektromagnetik.
kamu Pluto yang
tiba-tiba bukan planet lagi.
Kamu badai yang tetiba
menjadi angin lembut.
R, how can someone is
not there anymore?
Pertanyaan itu tentu saja ditelannya bulat-bulat. Surat itu
tak pernah sampai kepada yang dituju. Pertanyaan itu tak pernah dijawab. Paling
jauh, hanya angin yang akan menjawabnya, tentu saja dengan desiran halus dingin
yang terasa hingga ke tulang-tulang. Dingin itu dingin menusuk, yang
menyadarkan akan kenyataan akan ilusi-ilusi yang tadinya dipercayai sebagai
kenyataan.
Ia terkadang berharap hidup adalah sebuah drama komedi
romantis, atau film fantasi. Apapun asal jangan thriller, horor, dan dystopia.
Karena dengan begitu, tidak ada yang harus pergi tanpa pernah kembali. Tidak
ada yang harus mempertanyakan, bagaimana bisa seseorang tidak ada di hidupnya
lagi, seperti dirinya.
R, sometimes I hope I
can visit that fairytale one more time.
Ia merobek-robek kertas putih tanpa garis beserta pesannya
lalu menerbangkannya bersama angin yang berhembus kencang. Kertas-kertas itu
melayang, entah kemana. Ia melihat kertas-kertas itu pergi jauh hingga lenyap
tak tertangkap matanya.
“Pada akhirnya, semua hal pergi, semua hal berakhir. Kita benar-benar
sendiri di dunia ini,” ia menyampaikan pikirannya pada udara, namun kali ini
bukan desiran dingin menusuk hingga tulang yang ia dapatkan. Kali ini, udara
berhembus sedikit lebih hangat.
Sebuah botol meluncur menabrak sepatu putihnya. Ia
berjongkok meraihnya. Di dalam botol itu terdapat secarik kertas, bubuk-bubuk
yang kelihatannya pasir, dan bunga yang kering. Ia tak tahu bunga apa yang ada
di sana. Ia tidak pernah tahu jenis bunga lain selain mawar, melati, anggrek,
dan edelweiss. Ia membuka penyumpal botol dari gabus lalu mengeluarkan semua
benda yang ada dalam botol. Bunga kering yang kini sudah hancur, lalu pasir
pantai dan secarik kertas yang sulit ia keluarkan.
If it was your wish,
let’s visit it one more time, then. Once in a while, we need magic, and
fairytale.
Lalu tangan itu, tangan yang hampir ia lupakan, sudah
terjulur di depan wajahnya. Ia mendongak ke atas, berusaha memastikan siapa
pemiliknya. Bola matanya membesar, lalu ia bangkit berdiri. Manusia di hadapannya
tersenyum manis. Senyum itu adalah senyum yang ia rindukan. Jenis senyum yang
ingin ia punya sepanjang hidupnya, yang ingin ia bekukan dalam waktu. Jenis senyum
yang membuat matahari mempunyai saingan baru yang lebih digdaya.
“Jadi, gimana?” tangan itu ia tawarkan kembali.
“Rasen! Gimana bisa kamu ada di sini?” alih-alih menjawab,
gadis itu malah balik bertanya.
Rasen tersenyum kembali. Hatinya cerah kembali. Perasaan itu
seperti perasaan ketika matahari terbit dari ufuk timur.
“Arsa, do you mind to
visit a fairytale once again?” tanya Rasen. Tanpa izin ia menggamit tangan
Arsa, menggenggamnya seperti dulu saat dongeng itu nyata. “with me?” tambahnya.
“No,” Arsa
tersenyum walaupun ia tahu, ia mengulangi kesalahan yang sama.
Di jalanan beraspal yang jarang dilalui kendaraan itu Rasen
dan Arsa berjalan, entah kemana. Lentera yang dibawa Rasen bercahaya menerangi
jalanan di depan mereka. Arsa melihat bunga-bunga liar yang tumbuh di sisi
jalan hingga bunga-bunga itu seperti pagar pembatas. Malam semakin dingin,
semakin larut pula. Beruntung, Arsa selalu memakai sweter, tak terkecuali malam
ini. Selain sweter, Arsa juga merasakan kehangatan dari tangan Rasen. Entah
kemana Rasen menuntunnya pergi, namun ia yakin sekali, Rasen akan membawanya ke
tempat dimana dongeng nyata. Segala sesuatu yang berhubungan dengan Rasen
adalah keajaiban dan dongeng.
“R, kamu pernah berpikir bagaimana absurd-nya seorang
perempuan?” tanya Arsa tiba-tiba. Rasen menoleh lalu tersenyum. Arsa
bertanya-tanya mengapa Rasen tersenyum setiap saat.
“Absurd itu seperti apa, Arsa?” tanya Rasen.
“I don’t know exactly
about that, but I know a little. Kata guruku, absurditas itu seperti Miss
Brill di cerita Miss Brill-nya Katherine Mansfield dan seperti Krapp di drama
Krapp’s Last Tape-nya Samuel Beckett,” kata Arsa.
“Aku nggak pernah baca itu, tapi pertanyaanya, sejak kapan
kamu belajar sastra? Atau masuk ke kelas sastra?” Rasen bertanya lagi. Ia
mendekatkan lenteranya ke wajah Arsa, ingin melihat wajahnya, ekspresinya, atau
mungkin bintang-bintang di matanya.
Mereka berdua berhenti berjalan. Arsa balas menatap Rasen.
“R, people change for
a reason, no, perhaps a lot of reasons. Itu awalnya hobi. Maksud aku masuk
kelas orang seenaknya lalu ikut belajar tanpa ketahuan. Atau mungkin mereka
tahu, tapi mereka terlalu open-minded
dan nggak menghentikan orang dari ‘rumah’ yang lain ikutan karena mereka lebih
menghargai orang-orang yang nyari ilmu, bukan nyari nilai, dan lama kelamaan
aku senang ada di kelas itu karena hanya di kelas seperti itulah aku bisa
memahami manusia dan kehidupannya,” Arsa mengehembuskan napas. Detik
selanjutnya ia sudah menghirup oksigen. Banyak, banyak sekali. Bersiap memberi
Rasen bom cerita. “Tapi, R, aku juga baru baca Miss Brill aja sebenarnya. Tapi
guruku menerangkan dua teks itu.”
“Oke, lanjut, ada apa dengan Miss Brill dan Krapp?” tanya
Rasen. Ia melanjutkan langkah kakinya diikuti Arsa.
“They’re doing something over and over again.
Miss Brill yang selalu duduk di kursi yang sama pada jam yang sama dan hari
yang sama. Kegiatannya adalah menguping. Dan Krapp yang bolak-balik
mendengarkan rekamannya. Mereka melakukan sesuatu yang kita pikir aneh dan
nggak ada gunanya, tapi belum tentu buat mereka,” kata Arsa yang kemampuan
menyampaikan pikirannya meningkat seperti kecepatan pembalap Moto GP memacu
kecepatan di lintasan balap.
“Lalu apa hubungannya keabsurdan perempuan dan keasubrdan
Miss Brill dan Krapp?” tanya Rasen.
“Don’t you think that
they do thing over and over again? Like, for the girl, she’s thinking of
someone, something everyday, and the worst part of all is they can’t get over
it for a long time,” Arsa menghembuskan napasnya kasar. Matanya mencari
sesuatu di antara bebungaan yang tumbuh di pinggir jalan.
“Do they? Or, do you?”
kali ini Rasen menatap Arsa dengan matanya yang sebelumnya tidak pernah Arsa
tahu. Iris lelaki itu hitam kelam seperti kebanyakan iris milik ras mongoloid.
Arsa termenung. Rasen benar. Arsa adalah sebuah anomali. Apa
yang terjadi padanya belum tentu terjadi pada semua perempuan di dunia. Tapi,
apa memang hanya ia saja yang seperti itu? Ia tahu, itu jenis kebodohan yang
sangat menyedihkan, tapi rasanya sulit keluar dari keadaan tersebut. Arsa
bahkan menyukai seseorang yang baru ditemuinya empat kali seumur hidupnya.
Seseorang yang orbitnya bahkan sangat berbeda dengannya.
“Apa jatuh cinta pada seseorang yang baru empat kali kita
temui juga absurditas, R?” tanya Arsa. Ia balik menatap mata Rasen.
“Inside me a trillion
cells are humming, proteins stalking the strand of my DNA, winding and
unwinding, making and remaking…. Do we choose who we love?”
Mata Arsa membesar. Kata-kata Rasen barusan diambil dari
novel About Grace yang sedang ia baca. Arsa bertanya-tanya bagaimana bisa Rasen
juga membaca buku yang sama persis dengan dirinya. Atau darimana ia tahu buku
seperti itu. Jika diperhatikan Rasen bukan jenis orang yang suka membaca. Tapi
di sisi lain Arsa merasa tidak berhak menilai Rasen karena memang sebenarnya,
ia tidak tahu kehidupan Rasen.
Arsa tertawa pendek, menggaruk tengkuknya yang tidak gatal
lalu berkata, “kamu nggak ngejawab pertanyaan aku, R.”
“I didn’t. I told you
that we don’t choose who we love. Ah, itu dari novel About Grace-nya
Anthony Doerr kalo kamu mau tahu,” jelas Rasen. Kini matanya menjelajah langit
yang dipenuhi bintang.
Terkadang Arsa kesal karena Rasen lebih sering memerhatikan
alam dibanding dirinya. Rasen lebih sering memerhatikan bintang, langit, awan,
rumput, danau, dan merasakan angin. Arsa rasa Rasen akan memilih tinggal di
tempat super primitif tanpa teknologi apapun jika dunia tidak menuntut banyak
hanya untuk asupan penyambung hidup.
“Aku tahu, R, tapi kok kamu tahu?” mata Arsa menelisik
curiga. Takut-takut alasan Rasen menghilang selama ini adalah karena mengikuti
super camp bertajuk “Menjadi Cenayang Hebat Masa Kini”.
“No wonder. Kamu kan
penggemar garis keras All The Light We Cannot See,” Rasen tertawa lagi, renyah.
Gelombang dari tawa Rasen juga merupakan salah satu cahaya yang tak terlihat
bagi Arsa. Jika tawa Rasen terlihat, mungkin warnanya akan biru. Tawa yang
jernih dan misterius, seperti laut, seperti langit.
Setelah bertanya apakah Arsa capek atau tidak, Rasen membunyikan
benda mirip dream catcher. Hanya saja, benda itu menunjukkan gambar Dandelion
dan rumbaiannya merupakan lonceng-lonceng kecil berbentuk bulat. Benda itu
terbuat dari logam. Entahlah jenis logam yang seperti apa. Arsa tidak tahu
banyak mengenai logam. Yang pasti, saat lonceng-lonceng kecil itu bergemerincing,
suaranya sangat indah dan membuat Arsa merasa ia memang benar-benar berada di
negeri dongeng. Suasana seperti inilah yang Arsa sebut dreamy.
Sesaat kemudian datang empat dryad ke hadapan mereka membawa
sebuah teko perak. Arsa bertanya-tanya ada di dunia mana ia sekarang. Bumi kah?
Atau Narnia? Atau lainnya? Meminta jawaban pada Rasen pun seolah percuma karena
lelaki itu hanya tersenyum, tersenyum, dan tersenyum seolah senyum bisa
menjawab semua hal. Rasen mengangguk pada empat dryad lalu menundukkan
kepalanya. Salah satu dryad menumpahkan isi teko perak ke kepala Rasen.
Ternyata teko perak itu berisi bubuk-bubuk emas berkilau. Mirip seperti pixie
dust di film Tinker Bell.
Rasen mengangkat kembali kepalanya setelah salah satu dryad
selesai menumpahkan bubuk emas. Ia tersenyum pada Arsa seolah mengatakan “ayo,
sekarang giliranmu.” Arsa mengangguk ragu lalu ikut menundukkan kepala. Ia
merasa kepalanya dialiri es yang dingin, es yang tidak menyebabkan ia
hipotermia melainkan kenyamanan yang menenangkan. Arsa mengangkat kembali
kepalanya saat kedinginan itu berhenti.
Para dryad bersiap pergi dan Arsa memberi hormat ala puteri
kerajaan, padahal ia jauh dari kata lemah lembut. Mirip kakak-kakak yang suka
membully adik kelas sih iya. Lalu setelahnya para dryad memecah diri mereka
menjadi puing-puing bunga yang indah lalu pergi seperti diterbangkan angin,
padahal tidak.
“Terus?” Arsa mulai berharap sesuatu yang ajaib terjadi. Ia
bisa terbang, salah satunya. Barusan kan ia disiram pixie dust.
“Nggak, kita nggak akan terbang,” kata Rasen. Arsa
mencebikkan bibirnya kecewa. Harapan pupus. Harapan selalu pupus.
Komentar
Posting Komentar