Mengunjungi Dongeng #2

Rasen berjalan mendahului Arsa menuju barisan bunga-bunga liar. Arsa berlari-lari kecil mengikutinya. Semakin jauh mereka berjalan, semakin tinggi bunga-bunga liar. Bahkan tingginya melebihi tinggi Rasen. Arsa sempat bingung dan sedikit takut. Ia menebak-nebak apa yang ada di akhir bebungaan liar ini. Tebakannya jatuh pada jurang. Jurang yang menuju ke laut. Ia membayangkan dirinya meluncur jatuh ke permukaan laut yang menjadi sekeras besi lalu hancur berkeping-keping, persis seperti botol yang dilempar di aspal.

Tapi lamunan kematiannya bubar ketika kunang-kunang muncul setiap ia menyibak bebungaan untuk jalannya. Ini seperti melihat lampu-lampu kota di daerah tinggi, tapi ini tentu lebih indah lagi. Cahaya kuning di tengah kegelapan, di antara bebungaan liar aneh yang tumbuh lebih tinggi dari badanmu dan seseorang dari dongengmu, yang tinggal di orbit berbeda denganmu ada di depanmu, memimpin arah dengan lentera berwarna biru terang di tangan kanannya dan senyuman di wajahnya.

Arsa tersenyum dan mencoba menyimpan ingatan tersebut baik-baik di salah satu sudut otaknya. Ia merangkai puluhan kalimat di benaknya agar ia ingat kejadian hari ini, perasaan hari ini, dan keajaiban hari ini. Arsa tahu jika dirinya pelupa dan akan mengutuk dirinya sendiri jika sampai ia lupa pada hari ini.

Where will we go? A dream? A fairytale? A hope? Where the hell you are going to take me, R?, batin Arsa.

Mereka terus berjalan, di antara bebungaan liar tinggi dan ratusan, atau mungkin ribuan kunang-kunang yang terbang. Rasanya tempat itu tidak pernah berujung. Mengingatkan Arsa saat harus pergi ke tempat berenang di kampung neneknya. Arsa harus melalui jalanan bukit yang melingkar, entah berapa kali. Setiap kali Arsa melaluinya, ia merasa ia sudah melalui jalan itu lebih dari seribu kali. Sampai tiba di tempat berenang, di tengah hutan, ia kira. Siapa orang gila yang membangun kolam renang di tengah hutan? Keluhnya waktu itu.

Tapi serius. Arsa merasa sudah melewati bunga itu seribu kali. Tapi ia mulai berpikir semua bunga yang ada di sana berwujud sama, identik. Arsa ingin mengeluh, tapi mengingat ini jenis pengalaman yang ia tunggu-tunggu selama hidup, ia menjadi urung melakukannya. Ia lalu berharap saat ia keluar nanti ia sudah ada di Skotlandia. Walaupun memang tidak mungkin. Pergi ke Skotlandia membutuhkan burung besi raksasa, dan uang segudang. Mungkin ditambah sedikit keajaiban.

“Sebentar lagi sampai!” kata Rasen membuyarkan pikiran Arsa yang terbang kesana-kemari seperti kecoa terbang yang meresahkan.

“Yes! Mau kemana kitaa?” Arsa dengan bersemangat berteriak. Lalu detik berikutnya ia terjatuh karena tali sepatunya yang lepas.

Rasen sudah tidak ada di pandangannya saat Arsa berdiri selesai membetulkan tali sepatunya. Arsa panik lalu berlari lurus, entah kemana sampai bebungaan itu tak ada lagi dan yang bisa ia lihat hanya hamparan rumput hijau segar, jauh di depannya ada kastil, lalu danau yang tenang.

Arsa tahu ia ada dimana saat pertama kali melihat kastil dan danau itu.

“ARSA ADA DI SKOTLANDIAAAAA!!!” Ia berteriak heboh pada udara, dan pada Rasen yang tersenyum.

“NESSIEEEE!! I’M COMING! NESSIEEE!! PLEASE MEET MEEE!! MY LOVE!” Arsa berteriak lagi.

“RASEN! KOK BISA KITA ADA DI SINI, SIH?” tanya Arsa penasaran. Ia mencubit pipi dan tangannya berulang kali. Sakit sih. Tapi ia pernah mimpi ditembak dan sakitnya juga terasa. Arsa bingung ia ada dimana.

Rasen hanya tersenyum lalu dengan tangannya memberi gesture agar Arsa mengikutinya. Arsa berlari-lari dahulu sebelum mengikuti Rasen. Ia juga melompat-lompat di rumput yang terasa segar dan empuk kemudian detik berikutnya mengguling-gulingkan tubuhnya ke kanan dan ke kiri.

“Sa, sweter kamu bisa berubah warna kalau kamu gitu terus,” Rasen berkomentar sambil menggelengkan kepalanya. Rasen tahu Arsa gila, tapi tidak ia kira akan segila ini.

Arsa yang kemudian sadar jika ia memakai sweter putih langsung berdiri dan melihat penampakan sweternya yang sudah mengenaskan. Bercak coklat dan bercak air terdapat di sana-sini. Ia menarik napas dalam lalu menghembuskannya. Kaki-kaki yang bersemangat itu berlari menyusul Rasen kemudian, menyejajarkan diri bersama Rasen dan berjalan ke arah kastil.

Arsa mengetuk setiap tembok kastil yang ia temui. Seolah ada yang tinggal di dalamnya dan ia harus segera menemuinya. Tapi saat Rasen bertanya, ia hanya menjawab kegiatannya itu untuk survey. Tentu saja. Arsa bercita-cita membangun rumah sekokoh dan seindah kastil-kastil di Skotlandia.

Ada sebuah meja besar disana. Ada juga lampion-lampion yang anehnya tidak terbang. Tidak hanya lampion, ada toples-toples bekas selai yang bercahaya lembut di mana-mana, di lantai, di atas meja, di dinding kastil, di udara. Tidak ada apa-apa dalam toples itu—lilin, misalnya—tapi toples itu bercahaya lembut seperti cahaya matahari kala pagi, atau kala matahari akan tenggelam.

Ada enam kursi disana dan Arsa duduk di salah satunya. Rasen memilih duduk di sebelah Arsa. Ia melihat mata Arsa berkilauan melihat makanan yang ada di meja. Ia lalu tertawa dan Arsa tidak peduli.

Di atas meja sudah tersedia kentang, mentega kuning besar, ikan trout goreng yang kelihatannya sangat sangat sangat lezat, susu berkrim, dan juga marmalade roll. Tak lupa seteko penuh teh yang aromanya harum. Itu semua adalah jamuan yang Mr. Beaver dan Mrs. Beaver berikan pada Empat Pevensie di salah satu novel Narnia. Arsa selalu ingin mencoba makanan dan minuman itu, dan hari ini ia akan mencobanya.

“Silakan, Arsa. Makan yang mana saja yang kamu mau. Jangan khawatir etiket makan orang Inggris, makan aja,” kata Rasen.

Arsa memulainya dengan kentang dan mentega, sama seperti Rasen.

“Di antara semua kastil yang ada di Skotlandia, kenapa harus Urquhart, sih? Kan Urquhart udah kayak puing-puing gini,” Arsa mempraktikkan ketidak-tahu-diri-annya.

“Emang maunya kemana? Edinburgh Castle?” tanya Rasen.

“Ih ogah. Katanya horror. Eh tapi nggak apa, ya. Kenalan sama hantu luar negeri asik juga. Lagi pula Edinburgh juga kece sekaliiii,” kata Arsen sambil mengelap bekas-bekas krim karena ia habis minum susu berkrim-nya.

“Eilan Donan? Atau… apa lagi, ya? Kayaknya banyak banget sampai aku nggak hapal,” Rasen terkekeh lalu mengambil piring ikan sprout bakar.

“Tapi tapi tapiiiii, kenapa nggak sekalian aja Neuschweistein Castle kalo mau yang super indah, super magical, super fairytale?” Arsa mulai teringat kastil yang menurutnya paling indah sedunia. Ya walaupun letaknya tidak di Skotlandia, tapi di Jerman.

“Katanya, kemana kamu pergi selepas dari padang bunga liar tadi ditentukan oleh tempat yang kamu pikirin saat kamu mulai putus asa dengan padang bunga itu,” jelas Rasen lalu memasukkan potongan daging ikan sprout lezat ke mulutnya.

“Maksudnya gimana?” tanya Arsa. Ia berhenti makan sejak merasakan betapa susu berkrim itu menu yang paling nikmat hari itu.

“Jadi, gini, kamu merasa nggak kamu menempuh perjalanan yang lama dan tanpa akhir di padang bunga itu?” Rasen berhenti sebentar menunggu jawaban Arsa. Arsa hanya menganggukkan kepalanya karena sibuk meneguk susu. “Nah, saat kamu merasa putus asa karena rasanya kamu nggak akan pernah menemukan ujungnya padang bunga itu, kamu pasti mikirin perjalanan di padang bunga itu sia-sia dan memikirkan tempat lain yang ingin kamu kunjungi dibanding berputar-putar terus di padang bunga liar, yang walaupun indah, tapi nggak jelas. Nah tempat yang kamu pikirin itulah yang akan ada saat kamu berhasil keluar dari padang bunga itu. Saat kamu punya tujuan ke tempat mana kamu akan pergi, kamu bisa keluar dari padang bunga itu.”

“Oh gitu! Aku inget! Tadi aku sempat berpikir tentang Skotlandia. Pantesan aja. Tapi kok kamu bisa ke sini juga? Memangnya kamu suka Skotlandia?” Arsa melempar tatapan tajam pada Rasen. Pura-pura saja tapi.

“Aku tahu kok ke mana kamu akan pergi,” Rasen berhenti lalu tertawa saat melihat Arsa mencampurkan teh dan susu berkrimnya. “Jadi, gimana? Kamu senang nggak bisa mengunjungi dongeng?” tanya Rasen.

Arsa mengangguk mantap lalu meminum teh susunya. Ia memberikan gestur “top” dengan mengacungkan jempol tangannya. Tapi Rasen bingung. Apakah kunjungan dongeng ini atau teh susu percobaan Arsa sendiri yang top.

“Senang ya bisa mengunjungi dongeng, apalagi pangerannya juga ikut, pangerannya ada di sisi kamu. You get a complete fairytale package,” kata Rasen asal, tapi tidak asal. Ia sebal dengan Arsa dan minumannya.

Arsa langsung menyemburkan minumannya saat mendengar kata-kata Rasen. Dengan sedih ia memandangi kentang, mentega, dan ikan sprout bakar, dan marmalade roll miliknya yang sudah tercemar bakteri dari mulutnya sendiri. Ia bahkan tidak sempat makan ikan sprout karena asik dengan susu dan teh.

Setelah menarik napas panjang lalu menghembuskannya, ia mulai membalas Rasen.

“Rasen, sebenarnya aku nggak se-desperate itu soal dongeng dan happily ever afternya. Aku tahu happily ever after itu nggak ada. Semua yang kita rasakan, yang kita punya, semuanya itu sementara. Dan aku tahu cinta adalah hal yang paling nggak penting di dunia, karena cinta nggak bisa menyelesaikan perang atau memberi makan orang-orang kelaparan. Hanya perwujudan cinta itu yang menyelesaikan perang dan memberi makan anak-anak kelaparan di benua lain.”

Rasen tampak tidak terganggu dengan apa yang dikatakan Arsa. Ia diam saja karena tahu Arsa belum selesai bicara.

“Tapi tetap aja aku ngomongin cinta ke kamu. Aku ngomongin hal paling nggak penting sedunia ke kamu karena aku nggak bisa mengatasi rasa yang udah kayak anjing gila lepas ini. Aku bilang aku ingin mengunjungi dongeng sekali lagi. Dan terkadang dongeng itu nggak selalu harus kastil, jamuan ala Mr. Beaver dan Mrs. Beaver, dryad, pixie dust, atau pangeran sekalipun. Terkadang dongeng itu berbentuk pertemuan. Salah satunya pertemuan dengan kamu. Buatku, kamu bukan pangeran sama sekali. Aku nggak mau punya pangeran karena yang pasti aku bukan puterinya. Aku lebih cocok jadi minotaurus, musang, atau Azog sekalian,” Arsa mengambil napas banyak-banyak, bersiap menyemprotkan lebih banyak kata pada Rasen.

“Buatku, kamu adalah keajaiban, dan dongeng. Kenapa? Karena segala sesuatu yang berhubungan dengan kamu adalah keajaiban dan dongeng. Kamu tahu? Dua hal itu adalah hal yang paling jarang bersinggungan dengan kenyataan. Tapi, tapi, tapi, pertemuan dengan kamu adalah sebuah keajaiban sebab dengan orbit kita yang nggak sama, kita dengan ajaibnya bertemu di Weergen Kirk. Seharian berkemah di bawah langit dan bintang. Pernah bergenggaman tangan, which is sebuah kesalahan. Pernah ngomong non-sense di depan kamu. Lalu tiba-tiba semua nggak sama lagi dan nggak ada kesempatan lagi buat ketemu kamu. Keajaiban itu hilang. Dongeng itu hilang. Dan bahkan tiga bulan berturut-turut sesudah pertemuan kita yang terakhir, nggak pernah ada yang namanya bertemu tanpa sengaja, bertemu di jalan, atau sejenisnya. Simply we’re not in the same orbit. And I hope to visit fairytale again that means meeting you, R.”

Rasen menepuk-nepuk rambut Arsa lembut dan Arsa diam. Itu adalah kata-kata terbanyak yang pernah ia ucapkan selama hidupnya.

“Kamu marah karena aku nyamain kamu sama orang-orang menyedihkan yang ingin fairytale di luar sana atau marah karena aku bikin kamu mecemari ikan sprout yang belum kamu makan?” tanya Rasen sambil tersenyum. Senyuman yang sangat manis.

Arsa kontan tertawa terbahak-bahak karena ia sadar ia marah karena keduanya. Arsa bahkan sampai mengeluarkan air mata dan Rasen ikut tertawa bersamanya.

Now I’m finally here. You can meet me before the end of the time—“

before you’re not here anymore, and forever not be able to be here. Iya kan?”

Rasen mengangguk. Arsa tersenyum lagi. Mungkin keajaiban ini akan berakhir secepat kilatan petir yang menyentuh bumi. Tapi, setidaknya, hari ini pernah terjadi dan sekarang, tentu saja ia bahagia sekali.

“R, yuk kita ke Loch Ness sekarang. Aku kan ada agenda kunjungan ke Nessie. Ya ampun! All my life I’m waiting for this day to happen. R, bisa nggak nanti kita ke Glasgow, Edinburgh, sama Aberdeen? Terus ke Isle of Lewis, terus ke Isle of Harris? Terus kita harus banget ke highland! Oh iya! Kunjungan ke sapi-sapi Skotlandia juga ya! Mereka lucu banget, sumpah. Kamu sekalian beliin aku kain tartar, dong, R.”

Magic happens. Magic ends.

---END---

Referensi (Dalam kata lain daftar karya-karya atau apapun yang menginspirasi):

-          1. Pembahasan “Absurdity in Humanity” oleh Bu A di kelas SCLE
-          2. About Grace by Anthony Doerr, yang baru dibaca sampai chapter 7
-          3. Miss Brill by Katherine Mansfield and Krapp’s Last Tape by Samuel Beckett, dua karya yang dibahas di kelas SCLE dengan tema Absurdity in Humanity
-          4. The Chronicle of Narnia: The Lion, The Witch, and The Wardrobe by C.S. Lewis (yang perjamuannya bikin ngiler dan dryadnya membuatku ingin terbang dengan bunga-bunga)
-          Film Tinker Bell (yang pixie dustnya indah banget, dan kunang-kunang yang lucu banget!)
-         5. Salah satu karakter di The Hobbit, Azog
-        6.   Skotlandia (dan kastil-kastil kecenya), tanah dimana dongeng seperti nyata

-        7.   Dan R, yang merupakan sebentuk keajaiban bagi saya.

Komentar

Postingan Populer