Seri Gelap (2): Surat-surat dan Berita
“The dilemma, of course, is that such people save their most important words for after, when the surrounding humans are unlucky enough to find them.” The Book Thief by Markus Zusak
---
Bendera kuning jelas terpampang di depan rumah Garla pagi ini—ya, nama gadis itu Garla, nama yang tidak pernah disebut. Semakin mendekati rumah Garla, aku semakin merasakan rasa bersalah yang tambah dalam. Bukan karena aku yang menyebabkan ini semua terjadi, tapi karena aku tidak bisa menolong Garla dari perasaan tak tertolong itu. Aku merasa bersalah hanya diam saja saat seluruh dunia memandangnya penuh cela, buruk sekali dan pantas disiksa. Tadi malam aku mendapat kabar bahwa Garla telah memilih pulang, pada yang Maha Kuasa. Ayahnya, dengan suara yang tak jelas, memintaku untuk memintakan do’a pada teman-teman di sekolah untuk Garla. Aku sangat bingung. Bagaimana bisa seseorang meminta do’a pada orang-orang busuk macam mereka yang secara tidak langsung telah menyebabkan Garla pergi dari dunia ini. Tapi aku tetap menyampaikannya melalui grup-grup yang kupunya. Aku yakin pesan itu sudah sampai ke semua murid sebab pihak sekolah juga sudah memajang berita duka itu di laman media sosial sekolah.
Respon yang ada sangat bermacam-macam, mulai dari yang merasa bersalah hingga mencemooh. Aku bingung, mengapa masih ada orang yang mencemooh orang yang sudah meninggal yang secara tidak langsung diakibatkan oleh kami. Aku yang menawarkan untuk pergi bersama ke rumah Garla untuk melayat pun malah dijadikan bahan ejekan. Akhirnya, tak seorang pun murid yang ikut melayat Garla bersamaku. Benar-benar! Dunia ini sudah edan!
Aku takut-takut menghampiri rumah Garla yang mulai dipenuhi banyak orang itu. Beberapa guru yang datang bersamaku sudah melangkah jauh, mendekati rumah Garla, namun aku tertinggal di belakang, berjalan lambat-lambat dan kecil-kecil. Aku ketakutan seperti penjahat, seperti aku yang memang membunuhnya, padahal bukan, atau mungkin bisa jadi memang aku adalah salah satu orang yang membunuhnya. Jika diingat terakhir kali aku bertemu Garla, aku merasa amat bersalah. Aku melihat luka-lukanya, tapi aku tidak memberitahu siapa-siapa. Aku melihat tangannya yang dipenuhi luka self-harming, tapi aku bahkan tidak membantu apa-apa. Aku tidak melaporkannya pada guru BK, atau pada orang tuanya—apaka mereka bahkan tahu? Semua orang yang saat itu di tempat wudhu sekolah, tidak ada yang membantunya, bahkan kebanyakan mencemoohnya. Aku bahkan terlalu takut mengatakannya pada orang lain. Garla sangat dingin dan aku bahkan pernah mengira ia seorang psikopat! Betapa buruknya! Bagaimana aku bisa datang ke sana, melihat wajah orang tuanya, melihat wajah Garla? Akankah gadis itu akan memaafkanku untuk semua yang pernah terjadi?
Aku menimbang kembali dan memutuskan aku harus tetap datang ke sana walaupun aku tidak punya nyali untuk meminta maaf. Semakin aku mendekat ke rumah Garla, semakin terdengar lantunan ayat-ayat suci yang membuat bulu kudukku berdiri, membuatku sadar aku sedang berada di realita. Aku sudah melewati gerbang saat Pak Bagas memanggilku, menyuruhku mendekat dari pintu depan.
“Ron, kok lama sekali? Sana sapa dulu Ayah dan Ibunya Garla, biar kelihatan ada murid kita yang datang,” suruh Pak Bagas. “Ya ampunn… kenapa pula anak-anak lain enggak ikut?” pak Bagas mengomel pada udara.
Aku celingak-celinguk mencari Ayah dan Ibu Garla. Tapi kurasa aku tidak celingak-celinguk untuk mencari mereka. Aku hanya ingin melihat suasana. Ayah dan Ibunya Garla tentu mudah ditemukan. Mereka adalah orang dengan wajah paling sembab dan paling sedih di ruangan ini. Terlihat ibu Garla sedang menangis di samping jenazah Garla. Dua orang wanita terlihat mengusap-usap punggunggnya dan memeluknya memberi kekuatan dan ketenangan. Ayahnya terlihat lebih tegar dari ibunya sedang berdiri menyambut seseorang—mungkin saudara—yang baru datang. Aku melangkah kecil-kecil menuju ayahnya.
“Pagi, Oom,” sapaku sepelan mungkin.
Ayah Garla menoleh ke arahku, tersenyum, mempersilakan saudaranya pergi lalu berjalan ke arahku.
“Rona, apa kabar?” kata ayah Garla.
“Rona turut berduka cita, Oom. Semoga Garla diterima disisi Allah. Om sama Tante yang tabah, ya,” kataku tanpa menjawab pertanyaan oom Galih—ayah Garla.
“Aamiin. Terimakasih, ya, Nak Rona. Silakan duduk,” Oom Galih mempersilakan aku duduk. “Oh iya, nanti setelah pemakaman, Oom mau minta tolong sesuatu. Jangan langsung pulang, ya,” lanjut Oom Galih. Walaupun agak enggan, aku tetap mengangguk lalu duduk.
Sebelum duduk, aku mencuri pandang ke arah jenazah Garla. Wajahnya tak terlalu jelas karena kain putih transparan bermotif menutupi wajahnya. Yang kulihat, wajah itu lebih pucat dan tanpa ekspresi seperti biasanya, hanya saja ada segurat ekspresi sakit disana. Tiba-tiba terlintas di pikiranku, apakah gadis macam Garla pantas menerima semua ini? Semua caci, maki, ketidaksukaan dari teman-teman kami yang membuatnya ingin pergi lalu pergi, atau orang-orang mana yang tega memberi luka sebegitunya—jika Garla sampai bunuh diri lukanya sangat dalam dan besar, bukan?—pada Garla yang tidak pernah menyakiti siapapun.
Walaupun Oom Galih hanya memberitahu sebab kematian Garla padaku—ia meminta aku merahasiakannya saat meminta doa teman-teman si sekolah—rasa-rasanya semua orang sudah tahu mengapa Garla meninggal, termasuk tetangga-tetangganya. Bersamaan dengan orang-orang yang melantunkan ayat suci dan doa-doa di dalam rumah, di luar rumah tetangga-tetangga asik bergosip mengenai sebab kematian Garla.
“Duh kasian ya Neng Garla. Masih muda udah meninggal,” kata ibu berdaster merah muda.
“Iya, kenapa ya? Kalau dilihat Garla masih sehat-sehat aja tuh,” timpal ibu-ibu berbadan gempal membalas ibu berdaster merah muda.
“Eh, emang ibu-ibu ini nggak tahu?” seorang wanita berpakaian hitam-hitam menepuk pundak dua ibu tadi. Matanya yang besar sedikit memelotot, bibirnya membentuk satu garis lalu tersenyum kecil. “Kemarin, Garla nggak keluar rumah. Waktu bu Rayla dan pak Galih berangkat kerja, Garla nggak ada sama mereka. Waktu ditanyain, katanya Garla lagi sakit. Uh kasian. Lagi sakit nggak ada yang jagain. Kasian banget. Mungkin kenapa-kenapa pas lagi nggak dijagain, jadinya meninggal.”
“Waktu saya sama keluarga lagi asik nonton TV malem-malem, kita denger teriakan, kayaknya bu Rayla. Dikirain ada rampok atau apa gitu ya, saya sama suami cepet keluar rumah, ketok-ketok pager bu Rayla. Yang keluar pak Galih. Mukanya pucat. Suami saya nanya dong, “ada apa?” pak Galih Cuma bisik-bisik sama suami saya, terus saya disuruh pulang. Nyebelin,” cerita wanita berpakaian hitam itu. Aku menduga ia adalah tetangga paling dekat Oom Galih. Syukur suaminya menyuruhnya pulang. Jika tidak, biang gosip itu pasti menyebarkan berita Garla bunuh diri.
“Tapi, bu, ada yang bilang neng Garla bunuh diri. Bener gak ya itu?” napasku tercekat.
“Wah saya nggak tau kalau masalah itu, bu. Tapi kayaknya sih iya,” balas wanita berpakaian hitam. Dasar tukang gosip!
Aku mendekati ibu-ibu kurang kerjaan itu lalu menyeletuk cukup keras, “Gosipin orang yang udah meninggal dosa loh, bu. Maaf ya, saya cuma ngingetin aja, yaa siapa tahu ibu-ibu cantik ini lupa. Daripada gosipin, mending didoain aja, bu.”
Wanita berpakaian hitam menatap tajam ke arahku, sedangkan yang lainnya bersikap rikuh. Aku memasang muka menantang.
“Dek, nggak sopan banget sih nasehatin orang tua,” kata wanita berbaju hitam. Aku diam seribu bahasa. Orang tua memang sering tidak mau dinasehati. Mereka mengira mereka tahu semua dan paham semua hal di dunia ini.
“Kita cuma penasaran, kok. Bukan ngegosip,” bela ibu-ibu berdaster merah muda.
Aku memutar bola mataku, acuh tak acuh. Sebenarnya aku tahu sikapku ini sama saja mencari mati. Tapi mengingat kami sedang di rumah duka, tidak mungkin mereka mencincangku disini sekarang juga. Aku mengambil kesempatan itu untuk bersikap menyebalkan. Kapan lagi yang muda menang melawan orang tua yang katanya sempurna.
Doa-doa ini terasa sangat lama. Mungkin seperti ini rasanya jika kita memang berdosa atau mengambil bagian dari suatu dosa. Setelah menunggu entah berapa lama, jenazah Garla disholatkan lalu diantar ke peristirahatan terakhirnya. Di tanah yang basah dan bertaburan bunga itu, tertancap tanda kayu yang membuatku mengenal Garla lebih dari selama ini, selama ia hidup. Namanya Garla Audia, lahir di Sangata, tanggal 13 Agustus, meninggal di Bandung, tanggal 13 April. Nama ayahnya Galih Auriga. Di tanah yang basah itu, tante Rayla, ibunya Garla menangis semakin menjadi, seolah ingin ikut membasahi kuburan baru itu dengan air matanya. Ia tetap menangis saat satu per satu orang meninggalkan area pekuburan ini. Aku tetap di sini mengingat permintaan Oom Galih tadi.
“Rona, mau pulang bareng ibu?” tawar Bu Ergaris. Hidungnya terlihat sangat merah. Sangat jelas bahwa bu Ergaris menangis cukup lama.
“Makasih, bu. Rona pulangnya nanti,” kataku sambil tersenyum kecil. “Rona ada urusan dulu.”
“Oh. Ibu duluan ya kalau begitu,” kata bu Ergaris. Aku mengangguk lalu bu Ergaris pergi.
Aku menunggu tante Rayla selesai menangis. Disana, Oom Galih mengusap-usap punggung dan bahu tante Rayla lalu memeluknya. Tante Rayla menangis tersedu-sedu di bahu Oom Galih. Melihat pemandangan itu rasanya aku ingin menangis juga. Bagaimana bisa orang lain mengambil kebahagiaan seseorang yang begitu besar? Bagaimana bisa orang lain berbuat sebegitu jahatnya pada orang lain? Bagaimana bisa aku menjadi bagian dari kejahatan itu? Ampuni aku, Tuhan. Ampuni aku. Terlebih lagi, ampuni Garla, Tuhan. Gadis malang itu melakukan hal yang terlarang karena perlakuan kami di sekolah. Ampuni Garla, Tuhan. Ampuni Garla, Tuhan. Kumohon. Tiba-tiba saja air mata sudah mengalir turun dari pipiku dan Oom Galih dan Tante Rayla menghampiriku.
“Siapa dia?” tanya tante Rayla agak ketus.
“Teman Garla, Ray,” Oom Galih mengusap lengan tante Rayla lagi, “Namanya Rona. Rona yang akan membantu kita membereskan buku-buku di kamar Garla. Iya kan, Ron?” aku mengangguk penuh keraguan.
Jadi ini yang dimaksud Oom Galih tentang bantuan. Aku tidak bisa tidak mengangguk sebab yang ku lihat di kedua pasang mata itu adalah ketidaksanggupan dan ketidaksiapan mereka memasuki kamar Garla lagi. Aku mengekor di belakang mereka saat kaki-kaki mereka meninggalkan tanah-tanah pekuburan. Aku menghitung langkahku dan menggumamkan kembali “Tuhan, ampuni Garla. Kumohon” di hitungan ke sebelas. I mean it, Tuhan, tolong ampuni Garla.
---
Ternyata yang diminta Oom Galih bukan untuk membereskan buku-buku Garla, tapi untuk menemukan wasiat terakhir, atau mungkin surat terakhir dari Garla. Tapi, surat dari Garla bukanlah surat yang sulit dicari. Surat itu ada dimana-mana. Di buku catatan, di buku harian. di dinding, di gambar-gambar, di buku sketsa, di darah yang masih menempel di tempat tidur (seprainya sudah tak ada—mungkin dicuci, atau dibuang), di semua tempat yang ada di kamar ini. Apa yang ingin dikatakan Garla terlampau banyak sampai-sampai memenuhi seluruh kamarnya. Aku menyusuri setiap sudut kamar Garla. Mencopot gambar di dinding, menemukan kata-kata disana, aku melakukan apapun dan yang kutemukan adalah kata-kata. Aku menyimpulkan bahwa Garla dan kata-kata adalah kesatuan yang tidak terpisahkan, dua hal yang saling menyayangi, sebab bahkan setelah Garla telah pergi, kata-kata ini setia berbicara untuknya, untuk setiap teriakan yang ia tahan, untuk setiap duka yang ia makan, untuk segala bisik-bisik dan teriakan di kepalanya, untuk Garla.
Aku merasa kesepian, jadi aku pergi keluar untuk mencari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu, apakah sebenarnya sesuatu itu. Tapi, yang pasti, aku pergi ke pusat kota. Di sana aku hanya berjalan-jalan, memerhatikan orang-orang dan bangunan klasik di kota ini yang sangat aku kagumi. Sayangnya, tidak ada satu pun dari semua yang aku lihat yang membuatku merasa bahagia, atau setidaknya membuatku merasa lebih baik. Yang aku dapat sore ini, saat aku berjalan di teras pertokoan bertepatan dengan waktu matahari hampir tenggelam, semua hal di dunia ini seolah tidak penting lagi. Atau memang tidak ada yang penting di dunia ini? Nothing really matters. (bdg/maret)
Kata T.S. Elliot, “april is the cruelest month.” Aku percaya sepenuhnya karena aprilku sangat buruk dan jahat. Tapi apa aku harus peduli lagi pada hal-hal semacam ini? (bdg/april)
Kata orang luka fisik tidak lebih baik dari luka hati. Bagiku, keduanya saling mendukung untuk membuat seseorang berada di titik paling jauh yang pernah ditempuh seorang manusia. Kata orang banyak, luka fisik bisa disembuhkan, luka hati sulit disembuhkan. Tapi bagiku, luka-luka yang ada sangat berperan untuk suatu perasaan besar. (bdg/april)
COURAGE OR PAIN: something you can see in your bloods. Do you see it? Did you see it? (bdg/april) (sebuah tulisan di tembok yang ditutupi gambar karakter anime jepang)
RED: the best color in the world. (bdg/maret) (sebuah tulisan di tembok yang ditutupi kaca rias)
Papa dan Mama: manusia paling baik yang pernah G temui di dunia ini. Semoga mereka bahagia selalu. (bdg/april) (Ditulis di lemari pakaian)
Dunia yang kejam atau manusia yang kejam? Atau keduanya kejam? Siapa yang bisa menjawab pertanyaan ini tanpa menghakimi? (bdg/april) (Ditulis di kertas yang digantung di dream catcher menggunakan benang berwarna merah)
Aku ingin pulang kembali ke masa lalu. Bukan untuk mendapatkan kembali momen yang sudah berlalu, tapi untuk mendapatkan diriku yang lama. Karena, dialah yang lebih baik daripada aku sekarang. (bdg/jan)
Apa dengan berpura-pura bodoh seseorang bisa menjadi benar-benar bodoh? Seperti aku. (bdg/april)
Terlalu banyak yang ingin aku katakan. Tak satupun yang bisa keluar. Kalau ada yang mengganjal namanya apa, ya? Apa ketakutan? Atau bungkaman? Atau hanya hukuman? (bdg/april)
---
A/N:
Entah mengapa, Garla bagiku terasa sangat nyata. Aku bisa melihat wajahnya yang tanpa ekspresi saking capek-nya ia pada dunia. Aku bisa melihat kamarnya dengan segala detail yang ada. Kamar bercat merah yang temaram dan semakin sepi setelah kepergiannya. Garla, karakter kesayangankuuu *love*.
---
Bendera kuning jelas terpampang di depan rumah Garla pagi ini—ya, nama gadis itu Garla, nama yang tidak pernah disebut. Semakin mendekati rumah Garla, aku semakin merasakan rasa bersalah yang tambah dalam. Bukan karena aku yang menyebabkan ini semua terjadi, tapi karena aku tidak bisa menolong Garla dari perasaan tak tertolong itu. Aku merasa bersalah hanya diam saja saat seluruh dunia memandangnya penuh cela, buruk sekali dan pantas disiksa. Tadi malam aku mendapat kabar bahwa Garla telah memilih pulang, pada yang Maha Kuasa. Ayahnya, dengan suara yang tak jelas, memintaku untuk memintakan do’a pada teman-teman di sekolah untuk Garla. Aku sangat bingung. Bagaimana bisa seseorang meminta do’a pada orang-orang busuk macam mereka yang secara tidak langsung telah menyebabkan Garla pergi dari dunia ini. Tapi aku tetap menyampaikannya melalui grup-grup yang kupunya. Aku yakin pesan itu sudah sampai ke semua murid sebab pihak sekolah juga sudah memajang berita duka itu di laman media sosial sekolah.
Respon yang ada sangat bermacam-macam, mulai dari yang merasa bersalah hingga mencemooh. Aku bingung, mengapa masih ada orang yang mencemooh orang yang sudah meninggal yang secara tidak langsung diakibatkan oleh kami. Aku yang menawarkan untuk pergi bersama ke rumah Garla untuk melayat pun malah dijadikan bahan ejekan. Akhirnya, tak seorang pun murid yang ikut melayat Garla bersamaku. Benar-benar! Dunia ini sudah edan!
Aku takut-takut menghampiri rumah Garla yang mulai dipenuhi banyak orang itu. Beberapa guru yang datang bersamaku sudah melangkah jauh, mendekati rumah Garla, namun aku tertinggal di belakang, berjalan lambat-lambat dan kecil-kecil. Aku ketakutan seperti penjahat, seperti aku yang memang membunuhnya, padahal bukan, atau mungkin bisa jadi memang aku adalah salah satu orang yang membunuhnya. Jika diingat terakhir kali aku bertemu Garla, aku merasa amat bersalah. Aku melihat luka-lukanya, tapi aku tidak memberitahu siapa-siapa. Aku melihat tangannya yang dipenuhi luka self-harming, tapi aku bahkan tidak membantu apa-apa. Aku tidak melaporkannya pada guru BK, atau pada orang tuanya—apaka mereka bahkan tahu? Semua orang yang saat itu di tempat wudhu sekolah, tidak ada yang membantunya, bahkan kebanyakan mencemoohnya. Aku bahkan terlalu takut mengatakannya pada orang lain. Garla sangat dingin dan aku bahkan pernah mengira ia seorang psikopat! Betapa buruknya! Bagaimana aku bisa datang ke sana, melihat wajah orang tuanya, melihat wajah Garla? Akankah gadis itu akan memaafkanku untuk semua yang pernah terjadi?
Aku menimbang kembali dan memutuskan aku harus tetap datang ke sana walaupun aku tidak punya nyali untuk meminta maaf. Semakin aku mendekat ke rumah Garla, semakin terdengar lantunan ayat-ayat suci yang membuat bulu kudukku berdiri, membuatku sadar aku sedang berada di realita. Aku sudah melewati gerbang saat Pak Bagas memanggilku, menyuruhku mendekat dari pintu depan.
“Ron, kok lama sekali? Sana sapa dulu Ayah dan Ibunya Garla, biar kelihatan ada murid kita yang datang,” suruh Pak Bagas. “Ya ampunn… kenapa pula anak-anak lain enggak ikut?” pak Bagas mengomel pada udara.
Aku celingak-celinguk mencari Ayah dan Ibu Garla. Tapi kurasa aku tidak celingak-celinguk untuk mencari mereka. Aku hanya ingin melihat suasana. Ayah dan Ibunya Garla tentu mudah ditemukan. Mereka adalah orang dengan wajah paling sembab dan paling sedih di ruangan ini. Terlihat ibu Garla sedang menangis di samping jenazah Garla. Dua orang wanita terlihat mengusap-usap punggunggnya dan memeluknya memberi kekuatan dan ketenangan. Ayahnya terlihat lebih tegar dari ibunya sedang berdiri menyambut seseorang—mungkin saudara—yang baru datang. Aku melangkah kecil-kecil menuju ayahnya.
“Pagi, Oom,” sapaku sepelan mungkin.
Ayah Garla menoleh ke arahku, tersenyum, mempersilakan saudaranya pergi lalu berjalan ke arahku.
“Rona, apa kabar?” kata ayah Garla.
“Rona turut berduka cita, Oom. Semoga Garla diterima disisi Allah. Om sama Tante yang tabah, ya,” kataku tanpa menjawab pertanyaan oom Galih—ayah Garla.
“Aamiin. Terimakasih, ya, Nak Rona. Silakan duduk,” Oom Galih mempersilakan aku duduk. “Oh iya, nanti setelah pemakaman, Oom mau minta tolong sesuatu. Jangan langsung pulang, ya,” lanjut Oom Galih. Walaupun agak enggan, aku tetap mengangguk lalu duduk.
Sebelum duduk, aku mencuri pandang ke arah jenazah Garla. Wajahnya tak terlalu jelas karena kain putih transparan bermotif menutupi wajahnya. Yang kulihat, wajah itu lebih pucat dan tanpa ekspresi seperti biasanya, hanya saja ada segurat ekspresi sakit disana. Tiba-tiba terlintas di pikiranku, apakah gadis macam Garla pantas menerima semua ini? Semua caci, maki, ketidaksukaan dari teman-teman kami yang membuatnya ingin pergi lalu pergi, atau orang-orang mana yang tega memberi luka sebegitunya—jika Garla sampai bunuh diri lukanya sangat dalam dan besar, bukan?—pada Garla yang tidak pernah menyakiti siapapun.
Walaupun Oom Galih hanya memberitahu sebab kematian Garla padaku—ia meminta aku merahasiakannya saat meminta doa teman-teman si sekolah—rasa-rasanya semua orang sudah tahu mengapa Garla meninggal, termasuk tetangga-tetangganya. Bersamaan dengan orang-orang yang melantunkan ayat suci dan doa-doa di dalam rumah, di luar rumah tetangga-tetangga asik bergosip mengenai sebab kematian Garla.
“Duh kasian ya Neng Garla. Masih muda udah meninggal,” kata ibu berdaster merah muda.
“Iya, kenapa ya? Kalau dilihat Garla masih sehat-sehat aja tuh,” timpal ibu-ibu berbadan gempal membalas ibu berdaster merah muda.
“Eh, emang ibu-ibu ini nggak tahu?” seorang wanita berpakaian hitam-hitam menepuk pundak dua ibu tadi. Matanya yang besar sedikit memelotot, bibirnya membentuk satu garis lalu tersenyum kecil. “Kemarin, Garla nggak keluar rumah. Waktu bu Rayla dan pak Galih berangkat kerja, Garla nggak ada sama mereka. Waktu ditanyain, katanya Garla lagi sakit. Uh kasian. Lagi sakit nggak ada yang jagain. Kasian banget. Mungkin kenapa-kenapa pas lagi nggak dijagain, jadinya meninggal.”
“Waktu saya sama keluarga lagi asik nonton TV malem-malem, kita denger teriakan, kayaknya bu Rayla. Dikirain ada rampok atau apa gitu ya, saya sama suami cepet keluar rumah, ketok-ketok pager bu Rayla. Yang keluar pak Galih. Mukanya pucat. Suami saya nanya dong, “ada apa?” pak Galih Cuma bisik-bisik sama suami saya, terus saya disuruh pulang. Nyebelin,” cerita wanita berpakaian hitam itu. Aku menduga ia adalah tetangga paling dekat Oom Galih. Syukur suaminya menyuruhnya pulang. Jika tidak, biang gosip itu pasti menyebarkan berita Garla bunuh diri.
“Tapi, bu, ada yang bilang neng Garla bunuh diri. Bener gak ya itu?” napasku tercekat.
“Wah saya nggak tau kalau masalah itu, bu. Tapi kayaknya sih iya,” balas wanita berpakaian hitam. Dasar tukang gosip!
Aku mendekati ibu-ibu kurang kerjaan itu lalu menyeletuk cukup keras, “Gosipin orang yang udah meninggal dosa loh, bu. Maaf ya, saya cuma ngingetin aja, yaa siapa tahu ibu-ibu cantik ini lupa. Daripada gosipin, mending didoain aja, bu.”
Wanita berpakaian hitam menatap tajam ke arahku, sedangkan yang lainnya bersikap rikuh. Aku memasang muka menantang.
“Dek, nggak sopan banget sih nasehatin orang tua,” kata wanita berbaju hitam. Aku diam seribu bahasa. Orang tua memang sering tidak mau dinasehati. Mereka mengira mereka tahu semua dan paham semua hal di dunia ini.
“Kita cuma penasaran, kok. Bukan ngegosip,” bela ibu-ibu berdaster merah muda.
Aku memutar bola mataku, acuh tak acuh. Sebenarnya aku tahu sikapku ini sama saja mencari mati. Tapi mengingat kami sedang di rumah duka, tidak mungkin mereka mencincangku disini sekarang juga. Aku mengambil kesempatan itu untuk bersikap menyebalkan. Kapan lagi yang muda menang melawan orang tua yang katanya sempurna.
Doa-doa ini terasa sangat lama. Mungkin seperti ini rasanya jika kita memang berdosa atau mengambil bagian dari suatu dosa. Setelah menunggu entah berapa lama, jenazah Garla disholatkan lalu diantar ke peristirahatan terakhirnya. Di tanah yang basah dan bertaburan bunga itu, tertancap tanda kayu yang membuatku mengenal Garla lebih dari selama ini, selama ia hidup. Namanya Garla Audia, lahir di Sangata, tanggal 13 Agustus, meninggal di Bandung, tanggal 13 April. Nama ayahnya Galih Auriga. Di tanah yang basah itu, tante Rayla, ibunya Garla menangis semakin menjadi, seolah ingin ikut membasahi kuburan baru itu dengan air matanya. Ia tetap menangis saat satu per satu orang meninggalkan area pekuburan ini. Aku tetap di sini mengingat permintaan Oom Galih tadi.
“Rona, mau pulang bareng ibu?” tawar Bu Ergaris. Hidungnya terlihat sangat merah. Sangat jelas bahwa bu Ergaris menangis cukup lama.
“Makasih, bu. Rona pulangnya nanti,” kataku sambil tersenyum kecil. “Rona ada urusan dulu.”
“Oh. Ibu duluan ya kalau begitu,” kata bu Ergaris. Aku mengangguk lalu bu Ergaris pergi.
Aku menunggu tante Rayla selesai menangis. Disana, Oom Galih mengusap-usap punggung dan bahu tante Rayla lalu memeluknya. Tante Rayla menangis tersedu-sedu di bahu Oom Galih. Melihat pemandangan itu rasanya aku ingin menangis juga. Bagaimana bisa orang lain mengambil kebahagiaan seseorang yang begitu besar? Bagaimana bisa orang lain berbuat sebegitu jahatnya pada orang lain? Bagaimana bisa aku menjadi bagian dari kejahatan itu? Ampuni aku, Tuhan. Ampuni aku. Terlebih lagi, ampuni Garla, Tuhan. Gadis malang itu melakukan hal yang terlarang karena perlakuan kami di sekolah. Ampuni Garla, Tuhan. Ampuni Garla, Tuhan. Kumohon. Tiba-tiba saja air mata sudah mengalir turun dari pipiku dan Oom Galih dan Tante Rayla menghampiriku.
“Siapa dia?” tanya tante Rayla agak ketus.
“Teman Garla, Ray,” Oom Galih mengusap lengan tante Rayla lagi, “Namanya Rona. Rona yang akan membantu kita membereskan buku-buku di kamar Garla. Iya kan, Ron?” aku mengangguk penuh keraguan.
Jadi ini yang dimaksud Oom Galih tentang bantuan. Aku tidak bisa tidak mengangguk sebab yang ku lihat di kedua pasang mata itu adalah ketidaksanggupan dan ketidaksiapan mereka memasuki kamar Garla lagi. Aku mengekor di belakang mereka saat kaki-kaki mereka meninggalkan tanah-tanah pekuburan. Aku menghitung langkahku dan menggumamkan kembali “Tuhan, ampuni Garla. Kumohon” di hitungan ke sebelas. I mean it, Tuhan, tolong ampuni Garla.
---
Ternyata yang diminta Oom Galih bukan untuk membereskan buku-buku Garla, tapi untuk menemukan wasiat terakhir, atau mungkin surat terakhir dari Garla. Tapi, surat dari Garla bukanlah surat yang sulit dicari. Surat itu ada dimana-mana. Di buku catatan, di buku harian. di dinding, di gambar-gambar, di buku sketsa, di darah yang masih menempel di tempat tidur (seprainya sudah tak ada—mungkin dicuci, atau dibuang), di semua tempat yang ada di kamar ini. Apa yang ingin dikatakan Garla terlampau banyak sampai-sampai memenuhi seluruh kamarnya. Aku menyusuri setiap sudut kamar Garla. Mencopot gambar di dinding, menemukan kata-kata disana, aku melakukan apapun dan yang kutemukan adalah kata-kata. Aku menyimpulkan bahwa Garla dan kata-kata adalah kesatuan yang tidak terpisahkan, dua hal yang saling menyayangi, sebab bahkan setelah Garla telah pergi, kata-kata ini setia berbicara untuknya, untuk setiap teriakan yang ia tahan, untuk setiap duka yang ia makan, untuk segala bisik-bisik dan teriakan di kepalanya, untuk Garla.
Aku merasa kesepian, jadi aku pergi keluar untuk mencari sesuatu yang aku sendiri tidak tahu, apakah sebenarnya sesuatu itu. Tapi, yang pasti, aku pergi ke pusat kota. Di sana aku hanya berjalan-jalan, memerhatikan orang-orang dan bangunan klasik di kota ini yang sangat aku kagumi. Sayangnya, tidak ada satu pun dari semua yang aku lihat yang membuatku merasa bahagia, atau setidaknya membuatku merasa lebih baik. Yang aku dapat sore ini, saat aku berjalan di teras pertokoan bertepatan dengan waktu matahari hampir tenggelam, semua hal di dunia ini seolah tidak penting lagi. Atau memang tidak ada yang penting di dunia ini? Nothing really matters. (bdg/maret)
Kata T.S. Elliot, “april is the cruelest month.” Aku percaya sepenuhnya karena aprilku sangat buruk dan jahat. Tapi apa aku harus peduli lagi pada hal-hal semacam ini? (bdg/april)
Kata orang luka fisik tidak lebih baik dari luka hati. Bagiku, keduanya saling mendukung untuk membuat seseorang berada di titik paling jauh yang pernah ditempuh seorang manusia. Kata orang banyak, luka fisik bisa disembuhkan, luka hati sulit disembuhkan. Tapi bagiku, luka-luka yang ada sangat berperan untuk suatu perasaan besar. (bdg/april)
COURAGE OR PAIN: something you can see in your bloods. Do you see it? Did you see it? (bdg/april) (sebuah tulisan di tembok yang ditutupi gambar karakter anime jepang)
RED: the best color in the world. (bdg/maret) (sebuah tulisan di tembok yang ditutupi kaca rias)
Papa dan Mama: manusia paling baik yang pernah G temui di dunia ini. Semoga mereka bahagia selalu. (bdg/april) (Ditulis di lemari pakaian)
Dunia yang kejam atau manusia yang kejam? Atau keduanya kejam? Siapa yang bisa menjawab pertanyaan ini tanpa menghakimi? (bdg/april) (Ditulis di kertas yang digantung di dream catcher menggunakan benang berwarna merah)
Aku ingin pulang kembali ke masa lalu. Bukan untuk mendapatkan kembali momen yang sudah berlalu, tapi untuk mendapatkan diriku yang lama. Karena, dialah yang lebih baik daripada aku sekarang. (bdg/jan)
Apa dengan berpura-pura bodoh seseorang bisa menjadi benar-benar bodoh? Seperti aku. (bdg/april)
Terlalu banyak yang ingin aku katakan. Tak satupun yang bisa keluar. Kalau ada yang mengganjal namanya apa, ya? Apa ketakutan? Atau bungkaman? Atau hanya hukuman? (bdg/april)
---
A/N:
Entah mengapa, Garla bagiku terasa sangat nyata. Aku bisa melihat wajahnya yang tanpa ekspresi saking capek-nya ia pada dunia. Aku bisa melihat kamarnya dengan segala detail yang ada. Kamar bercat merah yang temaram dan semakin sepi setelah kepergiannya. Garla, karakter kesayangankuuu *love*.
Komentar
Posting Komentar