Seri Gelap (3): BinG!
“Labels are for bottle, not for people.”
Dunia ini dikuasai seorang ratu, namanya kerupawanan. Ratu yang satu ini dipuja-puji berbagai macam bangsa di dunia yang bentuknya entah bulat atau datar (hal ini masih dalam perdebatan), dan anehnya, banyak hal yang ditentukan oleh ratu yang satu itu, salah satunya: siapa Garla di mata teman-teman sekolahnya dan salah lainnya: apa yang Garla berhak dapatkan dan apa yang Garla tak berhak dapatkan. Ratu itu benar-benar bertindak seperti tuhan, padahal ia bukan tuhan. Ia hanya dituhankan. Macam berhala yang disembah dan dianggap tuhan lalu diyakini sebagai tuhan oleh keturunannya kelak. Ratu yang satu itu telah menjadi produk budaya dan menjadikan uang sebagai pasangannya, sebagai rajanya.
Kepada Garla, ratu kerupawanan menghadiahi sebuah kutukan bernama BinG—beauty is not Garla dan setiap jiwa di suatu tempat mengamininya. Malangnya Garla, ia tinggal di wilayah kekuasaan sang ratu, dimana rakyatnya sangat memuja-muja sang ratu. Apa yang memenuhi standar ratunya dicinta oleh rakyatnya. Apa yang tidak memenuhi standar ratunya, diperlakukan berbeda oleh rakyatnya.
Ah, sekiranya seperti itulah jika saya harus menuliskan kisah Garla dalam genre fantasi, namun, sayangnya saya sudah tidak lagi hidup di genre itu. Saya merupakan produk genre dystopia, sebuah genre dimana kebanyakan ceritanya adalah seputar pemeran utama yang tidak puas dengan sistem yang ada lalu memberontak. Kurang lebih seperti itulah saya. Namun sistem tidaklah masalah bagi saya, karena sistem akan selalu tidak sempurna. Sebabnya hanya satu: karena yang mengelola sistem itu adalah manusia, makhluk paling sempurna sekaligus tidak sempurna. Yang menjadi masalah buat saya adalah masyarakat dalam sistem tersebut. I absolutely hate society, because society contstructs an ideal image of things and based on those, it labels you like you’re a bottle. Hal itu pula lah yang dilakukan teman-teman Garla padanya: melabeli Garla dengan ketentuan gambaran manusia yang ideal.
Tidak akan ada yang percaya darimana saya mendapatkan sepotong kisah menyedihkan Garla karena memang apa yang saya lakukan terdengar gila, seperti gurauan dari orang tidak waras, seperti seseorang dengan tingkat imajinasi yang sudah melewati batas normal. Tidak akan ada yang percaya jika saya mencuri salah satu manuskrip milik Death. Iya, saya mencuri salah satu manuskrip milik Kematian. Dan hal itu adalah kebenaran yang bisa saya beberkan padamu. Tidak ada sebab khusus yang membuat saya mencuri salah satu manuskrip milik Death. Saya hanya menjalani hobi saya—mencari hal-hal emosional. Saya selalu haus kisah-kisah tragis, kisah-kisah yang membuat saya mengucurkan air mata, dan ironisnya membuat saya merasa lebih baik. Death, makhluk yang menjemput banyak jiwa itu, merekam segala jenis kemalangan yang ada. Tentu saja saya menghampirinya dan menemukan Garla di antara begitu banyak kisah manusia-manusia malang.
Garla nama gadis itu. Rambutnya lurus sebahu sekelam malam di cuaca terburuknya. Kulitnya kecoklatan. Matanya memiliki porsi yang berbeda, kecil di sebelah kanan dan normal di sebelah kiri. Saya rasa itu diakibatkan lipatan kelopak matanya yang tidak sama. Matanya senada tanah dibasahi hujan, coklat hampir kehitaman, dan di sanalah terkubur jutaan duka. Terlepas dari luaran, di bawah permukaan itu ada hatinya yang sudah hancur pertama kali kata-kata menyakitkan keluar dari mulut orang-orang.
••
Sebuah Manuskrip Milik Kematian
“Fragment of Events in Life of Garla Audia”
Terlalu lelah untuk hidup, terlalu dekat dengan kematian. Garla Audia mendapatkan mantra yang ditiupkannya entah darimana. Mantra itu bernama BinG dan tertulis di dahinya dengan gaya tulisan yang tebal dan miring, seolah-olah menegaskan bahwa manusia bercap itu benar-benar BinG dan miring. Mantra itu tersebar ke hampir seluruh kontinen, entah dengan cara apa. Mereka yang tidak mengenalnya tak memerdulikannya dan menjalani hidup mereka sebagaimana biasanya. Mereka yang mengenalnya memasukkan mantra itu ke dalam hati mereka dan mengamininya kemudian menumbuhkan bibit-bibit aneh dalam hati mereka yang membuat mereka merasa mereka berhak menentukan apa yang berhak dan tidak berhak didapatkan Garla.
Suatu pagi dimana orang-orang belum banyak beraktivitas, gadis itu, Garla, asyik berpikir berulang-ulang mengenai kejadian-kejadian yang pernah dialaminya, kejadian-kejadian yang membuatnya mempertanyakan banyak hal, salah satunya kemanusiaan. Gadis itu berpikir bersamaan dengan tangannya yang mencuci satu per satu piring kotor.
TERAKHIR ITU KAMU
Jam menunjukkan pukul sembilan tepat saat Garla tiba di kelas. Cuaca yang cerah dan berangin membuat suasana kelas segar dan menyenangkan. Namun tidak ada siapa-siapa selain bu Ergaris dan Lumba–ketua kelas Garla—di sana. Hari itu hari sabtu dan bukan hari normal untuk pergi ke sekolah. Kelas Garla datang untuk kelas tambahan dan pembagian hasil Ulangan Tengah Semester (UTS), tapi belum banyak temannya yang datang.
Garla membaca buku untuk memanfaatkan waktu yang terbuang karena menunggu orang-orang yang tidak bisa datang tepat waktu. Ia membaca cukup lama. 20 menit sebelum seluruh murid tiba di kelas dan mulai mendengarkan pembukaan Bu Ergaris yang panjang lebar dan menghabiskan waktu sebanyak yang tadi dibuang.
“…hasil ulangan akan dibagikan sesuai kehadiran ya, nak. Belajar disiplin, lain kali,” hanya kata-kata terakhir yang Garla dengar.
Tapi, tidak, saat nama Lumba dipanggil, yang selanjutnya bukanlah Garla, tapi orang lain. Garla tidak protes. Hanya hatinya yang meletup-letup, bukan marah, tapi takut dan bingung. Mengapa bukan Garla yang ada di urutan kedua? Mengapa harus bu Ergaris mengatakan yang bukan kenyataan? Apa tadi Garla salah lihat? Mungkin bukan hanya Lumba, tapi ada yang lain. Mungkin Garla salah lihat. Tapi kenapa sampai mengular ke urutan… 27? Tapi sedetik kemudian Garla ingat, yang terakhir dan diakhirkan memanglah ia saja dan harus ia saja.
Sebab BinG.
OH, DO YOU EVEN EXIST, DARLING?
Meja persegi itu sudah dipenuhi tujuh orang pengunjung yang berniat belajar sambil jalan-jalan dan makan-makan. Hal itu bukan perkara baru sebenarnya. Tapi yang tidak biasa, Garla ada di rombongan itu, terselip di sudut meja tanpa ada yang peduli siapa dia. Kalau saja tugas ini tidak harus berkelompok, Garla akan sangat sangat sangat bahagia. Garla merasa dirinya buruk dalam bersosialisasi.
Menu yang ada mulai digeser dan satu per satu manusia mulai memilih makanan dan minuman yang mereka inginkan.
“Satu Burger item. Minumnya banana milkshake,” kata seorang gadis berpakaian up to date.
“Gue gunung matasapi satu sama susu tawar 1.”
Pesanan mulai dicatat. Burger hitam, gunung matasapi, dan semua makanan biasa yang dibuat luar biasa inovatif dan kreatif. Semua mulai memesan kecuali Garla yang masih bingung.
“Udah mesen semua, kan? Gue mesen ya,” Finlan bergegas menuju ke tempat pemesanan.
“Fin, aku belum mesen,” Garla menaikkan volume suaranya dan semua kepala menoleh ke arahnya, termasuk Finlan.
“Ya ampun, lo kelupaan!” kata Finlan lalu kembali ke meja untuk mencatat pesanan Garla.
Garla terlupa sebab BinG!
Black (Wo)man
“Kamu yang bakalan jadi project officer drama kelas ini, Lumba. Jangan lupa kamu atur-atur temen-temen kamu di lini yang mereka paling jago. Jangan lupa pemain, kostum, riasan, properti, penulis naskah, tata panggung, tata cahaya, semuanya di atur. Jangan sampai ada yang terlewat atau kurang, ya nak,” titip Bu Ergaris pada Lumba, ketua kelas sekaligus orang yang paling bisa diandalkan di kelas. Lumba hanya mengangguk kecil sambil tersenyum dengan terpaksa. Mungkin ia sudah muak selalu mengemban tanggung-jawab super berat di kedua bahunya. Atau mungkin ia meneyerah mengatur teman-temannya yang kacau sekali perbuatannya.
Di permukaan papan tulis putih yang bersih, Lumba menuliskan divisi, supervisor divisi, dan anggotanya. Sesaat matanya memicing sebentar kea rah Garla di bangku paling belakang.
“Oi! Black man?” tanya Lumba pada Garla, meminta persetujuan Garla. Garla mengangguk cepat.
Sep—
••
Manuskrip yang saya temukan tidak utuh. Bagian bawah manuskrip tersebut telah sobek, entah mengapa. Saya menjadi ragu Death menyimpan manuskrip-manuskrip kematian dengan apik. Tapi saya bersyukur cerita itu berakhir sampai di sini. Sebab potongan-potongan cerita tersebut terlalu berpecah dan acak-acakan. Banyak hal yang tidak saya mengerti dari manuskrip satu ini, lagipula tulisan ini tidak seperti biasanya, seperti biasa tulisan yang Death tuliskan. Mungkin manuskrip ini tidak ditulis oleh Death dan Life saja, tapi oleh orang lain yang kualitas tulisannya buruk, sebab Death adalah seorang penulis yang baik, begitu juga Life. Aku mulai curiga standar keamanan yang dimiliki Death. Dengan mudah aku dapat menerobos ruang manuskrip, dengan mudah pula orang lain bisa mencampurkan manuskrip miliknya dengan manuskrip milik Death yang tulisannya cukup oke. Tapi, terlepas dari kualitas tulisan tersebut, pecahan-pecahan kisah yang ada memang menyedihkan. Saya berdoa untuk Garla Audia, semoga ia berada di tempat yang lebih baik, dimana orang-orang tidak dilabeli sembarangan, dan tidak ada mantra BinG—beauty is not Garla—bertebaran.
---END---
Bagian ini tentunya terinspirasi dari The Book Thief yang dinarasikan oleh Death.
Dunia ini dikuasai seorang ratu, namanya kerupawanan. Ratu yang satu ini dipuja-puji berbagai macam bangsa di dunia yang bentuknya entah bulat atau datar (hal ini masih dalam perdebatan), dan anehnya, banyak hal yang ditentukan oleh ratu yang satu itu, salah satunya: siapa Garla di mata teman-teman sekolahnya dan salah lainnya: apa yang Garla berhak dapatkan dan apa yang Garla tak berhak dapatkan. Ratu itu benar-benar bertindak seperti tuhan, padahal ia bukan tuhan. Ia hanya dituhankan. Macam berhala yang disembah dan dianggap tuhan lalu diyakini sebagai tuhan oleh keturunannya kelak. Ratu yang satu itu telah menjadi produk budaya dan menjadikan uang sebagai pasangannya, sebagai rajanya.
Kepada Garla, ratu kerupawanan menghadiahi sebuah kutukan bernama BinG—beauty is not Garla dan setiap jiwa di suatu tempat mengamininya. Malangnya Garla, ia tinggal di wilayah kekuasaan sang ratu, dimana rakyatnya sangat memuja-muja sang ratu. Apa yang memenuhi standar ratunya dicinta oleh rakyatnya. Apa yang tidak memenuhi standar ratunya, diperlakukan berbeda oleh rakyatnya.
Ah, sekiranya seperti itulah jika saya harus menuliskan kisah Garla dalam genre fantasi, namun, sayangnya saya sudah tidak lagi hidup di genre itu. Saya merupakan produk genre dystopia, sebuah genre dimana kebanyakan ceritanya adalah seputar pemeran utama yang tidak puas dengan sistem yang ada lalu memberontak. Kurang lebih seperti itulah saya. Namun sistem tidaklah masalah bagi saya, karena sistem akan selalu tidak sempurna. Sebabnya hanya satu: karena yang mengelola sistem itu adalah manusia, makhluk paling sempurna sekaligus tidak sempurna. Yang menjadi masalah buat saya adalah masyarakat dalam sistem tersebut. I absolutely hate society, because society contstructs an ideal image of things and based on those, it labels you like you’re a bottle. Hal itu pula lah yang dilakukan teman-teman Garla padanya: melabeli Garla dengan ketentuan gambaran manusia yang ideal.
Tidak akan ada yang percaya darimana saya mendapatkan sepotong kisah menyedihkan Garla karena memang apa yang saya lakukan terdengar gila, seperti gurauan dari orang tidak waras, seperti seseorang dengan tingkat imajinasi yang sudah melewati batas normal. Tidak akan ada yang percaya jika saya mencuri salah satu manuskrip milik Death. Iya, saya mencuri salah satu manuskrip milik Kematian. Dan hal itu adalah kebenaran yang bisa saya beberkan padamu. Tidak ada sebab khusus yang membuat saya mencuri salah satu manuskrip milik Death. Saya hanya menjalani hobi saya—mencari hal-hal emosional. Saya selalu haus kisah-kisah tragis, kisah-kisah yang membuat saya mengucurkan air mata, dan ironisnya membuat saya merasa lebih baik. Death, makhluk yang menjemput banyak jiwa itu, merekam segala jenis kemalangan yang ada. Tentu saja saya menghampirinya dan menemukan Garla di antara begitu banyak kisah manusia-manusia malang.
Garla nama gadis itu. Rambutnya lurus sebahu sekelam malam di cuaca terburuknya. Kulitnya kecoklatan. Matanya memiliki porsi yang berbeda, kecil di sebelah kanan dan normal di sebelah kiri. Saya rasa itu diakibatkan lipatan kelopak matanya yang tidak sama. Matanya senada tanah dibasahi hujan, coklat hampir kehitaman, dan di sanalah terkubur jutaan duka. Terlepas dari luaran, di bawah permukaan itu ada hatinya yang sudah hancur pertama kali kata-kata menyakitkan keluar dari mulut orang-orang.
••
Sebuah Manuskrip Milik Kematian
“Fragment of Events in Life of Garla Audia”
Terlalu lelah untuk hidup, terlalu dekat dengan kematian. Garla Audia mendapatkan mantra yang ditiupkannya entah darimana. Mantra itu bernama BinG dan tertulis di dahinya dengan gaya tulisan yang tebal dan miring, seolah-olah menegaskan bahwa manusia bercap itu benar-benar BinG dan miring. Mantra itu tersebar ke hampir seluruh kontinen, entah dengan cara apa. Mereka yang tidak mengenalnya tak memerdulikannya dan menjalani hidup mereka sebagaimana biasanya. Mereka yang mengenalnya memasukkan mantra itu ke dalam hati mereka dan mengamininya kemudian menumbuhkan bibit-bibit aneh dalam hati mereka yang membuat mereka merasa mereka berhak menentukan apa yang berhak dan tidak berhak didapatkan Garla.
Suatu pagi dimana orang-orang belum banyak beraktivitas, gadis itu, Garla, asyik berpikir berulang-ulang mengenai kejadian-kejadian yang pernah dialaminya, kejadian-kejadian yang membuatnya mempertanyakan banyak hal, salah satunya kemanusiaan. Gadis itu berpikir bersamaan dengan tangannya yang mencuci satu per satu piring kotor.
TERAKHIR ITU KAMU
Jam menunjukkan pukul sembilan tepat saat Garla tiba di kelas. Cuaca yang cerah dan berangin membuat suasana kelas segar dan menyenangkan. Namun tidak ada siapa-siapa selain bu Ergaris dan Lumba–ketua kelas Garla—di sana. Hari itu hari sabtu dan bukan hari normal untuk pergi ke sekolah. Kelas Garla datang untuk kelas tambahan dan pembagian hasil Ulangan Tengah Semester (UTS), tapi belum banyak temannya yang datang.
Garla membaca buku untuk memanfaatkan waktu yang terbuang karena menunggu orang-orang yang tidak bisa datang tepat waktu. Ia membaca cukup lama. 20 menit sebelum seluruh murid tiba di kelas dan mulai mendengarkan pembukaan Bu Ergaris yang panjang lebar dan menghabiskan waktu sebanyak yang tadi dibuang.
“…hasil ulangan akan dibagikan sesuai kehadiran ya, nak. Belajar disiplin, lain kali,” hanya kata-kata terakhir yang Garla dengar.
Tapi, tidak, saat nama Lumba dipanggil, yang selanjutnya bukanlah Garla, tapi orang lain. Garla tidak protes. Hanya hatinya yang meletup-letup, bukan marah, tapi takut dan bingung. Mengapa bukan Garla yang ada di urutan kedua? Mengapa harus bu Ergaris mengatakan yang bukan kenyataan? Apa tadi Garla salah lihat? Mungkin bukan hanya Lumba, tapi ada yang lain. Mungkin Garla salah lihat. Tapi kenapa sampai mengular ke urutan… 27? Tapi sedetik kemudian Garla ingat, yang terakhir dan diakhirkan memanglah ia saja dan harus ia saja.
Sebab BinG.
OH, DO YOU EVEN EXIST, DARLING?
Meja persegi itu sudah dipenuhi tujuh orang pengunjung yang berniat belajar sambil jalan-jalan dan makan-makan. Hal itu bukan perkara baru sebenarnya. Tapi yang tidak biasa, Garla ada di rombongan itu, terselip di sudut meja tanpa ada yang peduli siapa dia. Kalau saja tugas ini tidak harus berkelompok, Garla akan sangat sangat sangat bahagia. Garla merasa dirinya buruk dalam bersosialisasi.
Menu yang ada mulai digeser dan satu per satu manusia mulai memilih makanan dan minuman yang mereka inginkan.
“Satu Burger item. Minumnya banana milkshake,” kata seorang gadis berpakaian up to date.
“Gue gunung matasapi satu sama susu tawar 1.”
Pesanan mulai dicatat. Burger hitam, gunung matasapi, dan semua makanan biasa yang dibuat luar biasa inovatif dan kreatif. Semua mulai memesan kecuali Garla yang masih bingung.
“Udah mesen semua, kan? Gue mesen ya,” Finlan bergegas menuju ke tempat pemesanan.
“Fin, aku belum mesen,” Garla menaikkan volume suaranya dan semua kepala menoleh ke arahnya, termasuk Finlan.
“Ya ampun, lo kelupaan!” kata Finlan lalu kembali ke meja untuk mencatat pesanan Garla.
Garla terlupa sebab BinG!
Black (Wo)man
“Kamu yang bakalan jadi project officer drama kelas ini, Lumba. Jangan lupa kamu atur-atur temen-temen kamu di lini yang mereka paling jago. Jangan lupa pemain, kostum, riasan, properti, penulis naskah, tata panggung, tata cahaya, semuanya di atur. Jangan sampai ada yang terlewat atau kurang, ya nak,” titip Bu Ergaris pada Lumba, ketua kelas sekaligus orang yang paling bisa diandalkan di kelas. Lumba hanya mengangguk kecil sambil tersenyum dengan terpaksa. Mungkin ia sudah muak selalu mengemban tanggung-jawab super berat di kedua bahunya. Atau mungkin ia meneyerah mengatur teman-temannya yang kacau sekali perbuatannya.
Di permukaan papan tulis putih yang bersih, Lumba menuliskan divisi, supervisor divisi, dan anggotanya. Sesaat matanya memicing sebentar kea rah Garla di bangku paling belakang.
“Oi! Black man?” tanya Lumba pada Garla, meminta persetujuan Garla. Garla mengangguk cepat.
Sep—
••
Manuskrip yang saya temukan tidak utuh. Bagian bawah manuskrip tersebut telah sobek, entah mengapa. Saya menjadi ragu Death menyimpan manuskrip-manuskrip kematian dengan apik. Tapi saya bersyukur cerita itu berakhir sampai di sini. Sebab potongan-potongan cerita tersebut terlalu berpecah dan acak-acakan. Banyak hal yang tidak saya mengerti dari manuskrip satu ini, lagipula tulisan ini tidak seperti biasanya, seperti biasa tulisan yang Death tuliskan. Mungkin manuskrip ini tidak ditulis oleh Death dan Life saja, tapi oleh orang lain yang kualitas tulisannya buruk, sebab Death adalah seorang penulis yang baik, begitu juga Life. Aku mulai curiga standar keamanan yang dimiliki Death. Dengan mudah aku dapat menerobos ruang manuskrip, dengan mudah pula orang lain bisa mencampurkan manuskrip miliknya dengan manuskrip milik Death yang tulisannya cukup oke. Tapi, terlepas dari kualitas tulisan tersebut, pecahan-pecahan kisah yang ada memang menyedihkan. Saya berdoa untuk Garla Audia, semoga ia berada di tempat yang lebih baik, dimana orang-orang tidak dilabeli sembarangan, dan tidak ada mantra BinG—beauty is not Garla—bertebaran.
---END---
Bagian ini tentunya terinspirasi dari The Book Thief yang dinarasikan oleh Death.
Komentar
Posting Komentar