Racauan: Nasionalisme dan Novel Fiksi-Sejarah
![]() |
Sumber gambar: http://amreading.s3.amazonaws.com/wp-content/uploads/historical-fiction-1rq1sz9-901x535.jpg |
Saya pada dasarnya memang bukan orang yang nasionalis (jika definisi nasionalis adalah cinta pada Indonesia). Saya banyak nggak peduli-nya daripada peduli-nya. Mata pelajaran sejarah pun nggak saya ingat-ingat amat. Hanya potongan-potongan kecil yang saya ingat. Di sekolah pun saya mengambil program studi sastra Inggris, jadinya saya belajar sejarah Amerika dan Inggris dan hal itu semakin mengaburkan ingatan saya pada sejarah negeri sendiri.
Sampai suatu waktu, teman-teman saya di lembaga pers mahasiswa yang saya ikuti membicarakan soal sejarah Indonesia, saya diam aja karena saya memang nggak tahu menahu. Tapi, mengingat orang-orang tersebut hampir semua bukan berasal dari jurusan sejarah, tapi tahu sejarah, saya pikir saya yang nggak tahu sejarah itu bukan karena latar belakang pendidikan saya, tapi karena saya saja yang memilih tidak peduli. Saat itulah pertama kalinya saya tertampar.
Jumat kemarin, saya bukan hanya tertampar, tapi sudah sampai tergampar. Bu Lian adalah seorang yang lahir di Indonesia, keturunan Cina yang pendidikannya belanda sekali, bahkan bu Lian (dulunya) tidak bisa bicara bahasa Indonesia, hanya bahasa Belanda. Di tahun 1960-an Bu Lian hijrah ke Amerika dan kembali ke Indonesia untuk menghadiri acara terkait buku pertamanya. Buku pertama inilah yang mengantarkan kembali Bu Lian ke Indonesia, yang mengantarkan Bu Lian pada mencintai negeri ini.
Bu Lian mendirikan Penerbit Dalang yang berfokus untuk menerbitkan karya-karya tentang Indonesia dan sejarahnya, dan oleh penulis Indonesia. Jika sudah mendengar sejarah yang dikemas dalam novel begitu, saya semangat sekali, berbeda kalau membahas sejarah di kelas. Saya adalah salah satu penggemar karya fiksi-sejarah, hanya saja yang berfokus pada Perang Dunia II. Namun, bukan berarti saya tidak membaca karya fiksi yang memuat sejarah Indonesia.
Saya setuju dengan pendapat bahwa novel sejarah itu penting, karena melaluinya, sejarah bisa diakses dengan lebih menyenangkan, bahkan mungkin lebih berguna karena memuat hal-hal yang tadinya “tersembunyi.” Contohnya seperti di novel Cantik itu Luka karya Eka Kurniawan yang tidak hanya menunjukkan sejarah Indonesia yang itu-itu saja, tapi juga menunjukkan keberadaan prostitusi di masa kolonial. Atau novel Between Shades of Gray dan Salt to the Sea karya Ruta Sepetys yang mengungkap hal-hal yang terjadi pada orang-orang Baltik di masa Perang Dunia II.
![]() |
Sumber: http://ekakurniawan.com/wordpress/wp-content/uploads/700-cil2015.jpg |
![]() |
Sumber: https://odetojoandkatniss.files.wordpress.com/2016/04/ruta-wwii.jpg |
Selama membaca novel-novel fiksi sejarah Perang Dunia II, saya selalu berandai-andai ada novel Indonesia yang membahas sejarah dengan serupa, yaitu melalui novel, karena rasanya pengajaran sejarah lewat novel itu lebih efektif daripada metode hapalan di dalam kelas. Kemudian saya berandai-andai, jika novel sejarah mengangkat sejarah Indonesia, sejarah mana yang akan diangkat? Cerita apa yang kira-kira bisa masuk dengan latar belakang sejarahnya? Terus apakah penulisnya akan aman-aman saja?
Tentu ada penulis-penulis yang menulis dengan latar belakang sejarah Indonesia. Pramoedya A. Toer tentu nama pertama yang saya ingat. Tetralogi Pulau Buru, Gadis Pantai, dan novel-novel Pram yang lainnya mengangkat kisah dengan latar belakang sejarah Indonesia yang berhasil membuat saya membayangkan kehidupan di zaman kolonial Belanda. Eka Kurniawan, melalui Cantik itu Luka juga berhasil membawa saya ke zaman penjajahan Jepang sampai zaman kemerdekaan di pulau antah-barantah. Penulis muda Indonesia seperti Lovita Cendana juga turut menghadirkan latar belakang masa kolonial melalui karyanya yang berjudul Helenina. Oh, dan tidak lupa pemenang sayembara Dewan Kesenian Jakarta, Dasamuka.
![]() |
Sumber: https://images.gr-assets.com/books/1464891625l/1398034.jpg |
Tapi, rasanya saya masih belum puas. Saya ingin membaca cerita Indonesia dengan latar belakang sejarah yang tidak itu-itu saja. Saya inginnya novel-novel fiksi sejarah Indonesia mempunyai latar belakang sejarah yang berbeda-beda dan jika dibaca seluruhnya membuat saya bisa menyatukan puzzle-puzzle sejarah Indonesia. Banyak mau-nya, ya? Hehe.
Harusnya saya mau sih berjuang untuk membuat karya-karya seperti itu. Orang yang ingin bacanya kan saya sendiri hehe. Tapi mengingat penelitian yang harus dilakukan untuk menulis suatu novel fiksi sejarah bukanlah hal yang mudah, saya jadinya berpikir dua kali. Anthony Doerr saja yang belajar ilmu sejarah butuh waktu 10 tahun untuk menyelesaikan novel fiksi-sejarahnya, All The Light We Cannot See. Doerr bahkan mengambil latar belakang sejarah perang dunia 2 di Saint-Malo, Perancis. Julie Orringer juga membutuhkan waktu tujuh tahun untuk menyelesaikan novelnya, The Invisible Bridge, yang mengambil latar belakang sejarah Hungaria. Sejarah di Saint-Malo dan Hungaria itu di pikiran saya nantinya menyatu dengan sejarah Perang Dunia II di kawasan Eropa. Nah, apa saya sanggup ya seperti mereka?
Selain itu, kalau misalnya saya mengambil latar belakang waktu kerusuhan 1998, atau peristiwa 1965, apakah nantinya saya dapat teror-teror begitu? Atau jika hasil penelitian sejarah saya nanti tidak sama dengan versi pemerintah, apakah akan ada sesuatu yang terjadi pada saya? atau saya hanya berpikir terlalu jauh saja, ya? Hehe.
Tapi, saya benar-benar ingin novel fiksi-sejarah Indonesia sama seperti novel fiksi-sejarah Perang Dunia II gitu. Masing-masing mengambil latar belakang sejarah yang berbeda untuk nantinya akan ada di jalur yang sama, di lingkaran sejarah besar yang sama. Selain itu, semakin tragis kisahnya akan semakin membuat saya cinta dan tidak bisa lupa hehe. Tidak usahlah yang sangat cinta-cintaan. Kejadian tragis macam istrinya diambil hukum juga tidak apa-apa, atau hampir semua tokohnya mati digilas penjajahan pun tak apa-apa. Bukankah inti novel fiksi sejarah itu bencana? Bencana yang membuat hidup ini semakin kelihatan tragisnya? Ehehe.
Kembali lagi ke cerita awal, adanya pertemuan dengan Bu Lian membuat saya semakin sadar kalau saya tidak boleh terlalu cinta sejarah orang lain dan kesadaran betapa Indonesia butuh penulis-penulisnya menuliskan sejarah sendiri, agar sejarah tidak dilupakan begitu saja, agar sejarah tidak dikesampingkan begitu saja, agar kita hari ini selalu tahu kalau dulu kita terjajah, jangan sampai sekarang (dengan rela) terjajah. Tentu saja tidak semua penulis harus. Saya (dan mungkin ribuan orang lainnya) kan masih butuh cerita general-fiction, teen-fiction, chick-lit, dystopia, dan fantasi hehe.
Komentar
Posting Komentar