Cerita Pendek: Fase

Sumber gambar: https://exemplore.com/magic/Faeries-Legends-and-Myths-from-Around-the-World


Kami adalah manusia. Kami terlahir menjadi manusia dan untuk beberapa waktu, kami hidup layaknya manusia. Tapi bagi kami, menjadi manusia bukanlah sebuah kehidupan. Menjadi manusia hanyalah fase, salah satu fase dalam hidup kami sebagai orang-orang Fase. Setidaknya begitulah makhluk-makhluk di sekitar kami menyebut kami. Yang kumaksud makhluk-makhluk  disini tidak hanya manusia saja, tapi hewan, tumbuhan, para nymph, centaurus, minotaur, dryad, naiad, faun, troll, dan makhluk-makhluk lainnya yang tidak jelas bentuknya dan namanya.

Namaku Opi, seorang Fase. Sebentar lagi usiaku 18 tahun. Dan sebentar lagi fase-ku akan tiba. Aku akan pergi ke hutan. Saat itulah seorang Fase akan berpindah fase kehidupan: menjadi kurcaci atau peri dan saat itu pula mereka harus meninggalkan dunia manusia untuk bergabung dengan golongannya. Momenku hampir tiba. Tanda-tandanya sudah ada di tubuhku sejak beberapa bulan lalu. Bintik-bintik kebiruan yang ada di tanganku sudah semakin banyak. Beberapa hari lagi aku akan segera pergi. 

Kehidupan seorang fase setelah itu tidak terdeteksi. Tidak ada yang tahu bagaimana seorang Fase berubah karena fase-fase yang telah berubah tidak pernah kembali ke pemukiman manusia. Mereka melanjutkan hidup dengan golongannya masing-masing; peri atau kurcaci. Begitu pula Ayah, Ibu, dan kakakku, Lyra yang sudah lebih dulu pergi. Ayah dan ibu melalui fase mereka di usia 45 tahun, sedangkan Lyra di usia 22 tahun. Aku rasa aku manusia paling muda yang akan melalui fase penentuan itu. Setidaknya begitulah kata orang-orang. Tidak pernah ada orang di bawah 20 tahun yang mengalami fase. Setidaknya itu informasi yang dapat dipercaya karena Nek Keira yang mengatakannya. Nek Keira adalah sejenis pemimpin, ia adalah yang paling tua yang belum mengalami fase. Usianya sudah 80 tahun.

Menghabiskan hari-hari terakhirku sebagai manusia, aku berniat berjalan-jalan ke semua tempat favoritku dan mengunjungi sahabat-sahabatku dan orang-orang yang berjasa di hidupku selepas kepergian ayah, ibu, dan Lyra.

Aku melangkahkan kakiku menuju tempat terdekat, rumah Lara, yang untuk beberapa waktu juga pernah menjadi tempatku tidur dan hidup. Rumah Lara tidak begitu besar. Hanya ada tiga kamar dan satu kamar mandi. Di luar rumah ada halaman dengan berbagai macam tumbuhan obat dan tanaman sayur-sayuran. Tepat di sebelah rumahnya ada pohon mangga yang sedang berbuah.

Saat aku memasuki pekarangannya, Auki, kucing Lara menyambut kedatanganku. Auki melompat ke pangkuanku. Bulunya yang lebat kuelus lembut. Aku membuka kenop pintu dan menemukan Lara yang tersenyum padaku. Ia selalu tahu jika aku datang ke rumahnya. Ia selalu tersenyum seperti itu seolah menyambutku lalu mengajakku duduk di tengah rumah, di kursi-kursi empuk yang hangat dan sangat nyaman. Dan hari ini, hal itu juga lah yang ia lakukan. Aku duduk di kursi nyaman itu sedangkan Lara pergi ke dapur, membuatkan aku teh atau coklat panas.
“Auki, kalau Opi pergi nanti, Auki harus jagain Lara ya. Auki jangan nakal juga, ya,“ kataku pada Auki. Auki menutup matanya lalu mengeong.

“Kamu lucu, Pi. Gimana bisa kucing gendut itu jagain Lara?“ Lara muncul dengan dua cangkir teh yang harum. Ia meletakkannya di meja, lalu menambahkan madu ke dalamnya.

Aku tersenyum. “Kucing gendut macam Auki pun bisa jadi kucing galak tukang gigit-gigit, Ra,“ kataku. Lara tertawa renyah, disusul dengan geraman kecil Auki. Auki sepertinya sedang menunjukkan sedikit kegarangannya.

“Bintik biru kamu makin banyak, Pi,“ Lara mengomentari penampilanku yang tidak diragukan lagi dipenuhi bintik biru. Aku tiba-tiba takut waktu yang beberapa hari itu bisa jadi beberapa jam lagi. Hal itu sering sekali terjadi. Semakin banyak bintik biru, semakin dekat pula-lah seorang Fase pada pergantian wujud mereka. Aku memeriksa lagi bintik biruku. Bintik biruku sudah memenuhi tangan dan kaki. Tersisa pergelangan tangan sampai ke jari-jari, pergelangan kaki sampai ke jari-jari, dan wajahku yang bintiknya masih sedikit.

“Tetua Keira bilang waktuku tinggal beberapa hari.“ Wajah Lara menampilkan campuran ekspresi cemas, takut, dan kasihan menjadi satu. Hidungnya mulai memerah seiring jatuhnya air mata Lara.

“Lara sendirian lagi nanti, Pi,” kata Lara pilu. Aku memeluk Lara. Ia sudah seperti kakakku sendiri. Sudah seperti ibuku sendiri. Sudah seperti keluargaku sendiri.

“Jangan gitu. Masih banyak orang kan di sini. Nanti Lara harus lebih sering ngobrol sama orang lain,“ kataku, berniat menenangkan Lara. Kurang lebih aku mengerti ketakutan Lara. Hal yang sama juga terjadi saat Lyra, kakakku, mulai dipenuhi bintik biru. Aku masih sangat muda, tidak siap dengan segala konsekuensi kepergian Lyra.

“Lara juga ingin berubah sekarang. Lara ingin pindah fase sekarang biar kita nanti sama-sama jadi apapun itu,“ kata Lara sambil melepaskan pelukannya.

“Menurut kamu aku bakalan jadi apa, Ra?“ aku mencoba mengalihkan pembicaraan. Lara, seperti namanya, selalu merasa lara. Kalau Lara sudah begitu, tidak butuh waktu lama aku juga akan merasa lara.

“Orang seperti kamu tentu aja jadi peri, Opi,“ Lara tersenyum, seolah meyakinkan aku akan berakhir begitu baik sebagai seorang peri. Ia lalu meminum teh-nya.

Transformasi seorang Fase tidak pernah ada yang benar-benar tahu, sebenarnya. Berakhir menjadi peri atau kurcaci adalah desas-desus saja. Tidak ada yang pernah menyaksikannya secara langsung. Tidak pernah ada pula yang berani mengintip. Konon katanya, mengintip seorang Fase yang sedang dalam masa perubahan akan membuat saksi itu menjadi troll. Setidaknya begitu cerita turun-temurun yang beredar. Orang-orang tidak mau mengambil resiko menjadi troll, makhluk bau yang dibenci banyak entitas.
Aku tidak begitu yakin akan menjadi apa aku nanti. Aku bisa jadi akan menjadi peri, kurcaci, atau mungkin makhluk lain. Tidak ada yang tahu kebenaran sesungguhnya kecuali para Fase yang sudah mengalami perubahan. Mereka pun tidak pernah kembali ke pemukiman manusia. Lalu, aku juga tidak mengerti apa ukuran seorang Fase agar bisa berubah menjadi peri atau kurcaci.

Orang-orang di desaku bilang menjadi peri adalah perubahan yang paling bagus. Rupa mereka memang menyerupai manusia, hanya saja bersayap, dan lebih rupawan. Kurcaci pun menyerupai manusia, hanya saja kaum kurcaci tidak serupawan kaum peri. Tapi, menjadi peri pun menurutku bukan perkara gampang. Aku tidak suka mereka karena mereka memiliki suara yang nyaring. Begitu pula kurcaci, mereka begitu senang mengobrol. Apa pilihan hanya dua? Atau aku bisa menjadi makhluk lain?

“Minum teh kamu, Opi.” Suara Lara membawaku kembali ke waktu sekarang. Teh miliknya sudah habis separuh. Aku mengangguk lalu membawa cangkir keramik itu ke mulutku.

Kuhabiskan teh milikku lalu bangkit berdiri. Lara ikut berdiri. Ia memegang lenganku, memintaku jangan pergi. Tapi aku harus pergi. Aku harus menikmati hari-hari terakhirku menjadi manusia. Fase manusia adalah fase paling bebas. Makhluk-makhluk lain, entah kenapa, selalu memiliki batasan. Manusia bisa pergi ke manapun—ke tempat para peri, ke tempat para kurcaci, bertemu centaurus, minotaurus, minum teh bersama faun, makan siang bersama para Grumpy—sekelompok kelinci besar yang suka marah-marah, atau kalau mau, melihat kehidupan para troll—yang tidak jarang suka makan manusia. Menjadi manusia sejauh ini sangat menyenangkan—terlepas dari semua sedih dan kesusahannya. Menjadi makhluk lain sudah pasti merepotkan.

“Aku pergi dulu, Lara. Sehat terus ya,“ aku memeluknya sebentar, erat-erat, sebagaimana seseorang akan pergi jauh sekali. Aku melepaskannya saat merasa pundakku basah. Lara pasti menangis. Aku segera pergi setelah itu. Tidak sempat berpamitan pada Auki. Kucing gendut itu entah ada di mana sekarang.

Selepas dari rumah Lara, aku pergi ke kebun buah desa. Di sepanjang jalan aku bertemu dengan warga desa. Walaupun bibir mereka tersenyum padaku, mata mereka menyiratkan rasa kasihan yang besar. Apa aku juga pernah mengasihani seorang Fase yang akan berubah? Sorot mata itu entah kenapa sangat menyakitkan, lebih dari bintik-bintik biru di tubuhku ini.

Aku masuk kebun buah lewat gerbang kecil di wilayah barat agar tidak terlalu mencolok. Maksudku agar aku tidak bertemu banyak orang. Gerbang itu gerbang kecil yang muat dilalui dua orang secara bersamaan. Warnanya sudah hilang berganti karat. Di baliknya ada kebun stroberi. Aku memetik satu dan tanpa mencucinya, memasukkannya ke dalam mulutku lalu melanjutkan perjalananku ke tempat tujuanku.

Orang-orang di desaku bilang tempat ini bukan kebun buah saking luasnya. Mereka bilang kebun buah ini adalah bagian dari ‘dunia lain‘ juga. Aku tidak tahu dunia lain itu seperti apa. Dunia ini saja misteri buatku, apalagi dunia lain. Sungguh tidak terbayang. Tunggu... mungkinkah para Fase itu tidak berubah bentuk, tapi hanya berpindah dunia saja? Kemungkinan selalu ada bukan?

Tapi terlepas dari benar atau tidaknya hal itu, kebun buah ini memang sangat luas dan terasa asing. Gerbang-gerbang tinggi, tanah subur yang bisa ditanami apapun, sungai-sungai berair jernih, ikan-ikan gemuk yang berenang di dalamnya, berbagai pohon buah dan tanaman-tanaman lain yang tidak pernah ditanam, kolam keramat, batu tumpuk, air terjun munlait, rumah tanpa penghuni, patung-patung berbagai bentuk yang tersebar di berbagai tempat, semuanya terasa asing. Semua yang ada di kebun buah ini terasa sangat asing.

Di desaku, tidak pernah ada rumah semacam rumah besar di kebun buah. Rumah yang terlihat berkilauan dengan batu-batu indah dan tinggi. Atapnya seperti ingin menyentuh langit. Rumah itu seperti bukan penghuni dunia ini. Makhluk mana yang bisa membangun rumah semacam itu? Setahuku, tidak ada makhluk yang membangun rumah seperti itu.

Rumah besar itu... adalah tujuanku.

Memang sih banyak cerita seram terkait rumah besar itu. Habisnya, rumah itu misterius sekali. Rumah itu jadi sepi sekali, hampir tidak pernah ada orang yang pergi ke sana. Tapi, karena itulah bagiku rumah itu adalah surga. Walaupun tanpa perabotan, rumah itu tetap sama indahnya.

Jarak rumah itu tak jauh lagi.

Tapi sebelum memasukinya, Lara datang dengan napas yang pendek-pendek.

“Dipanggil Nek Keira,“ Lara mengambil napas sebentar, “jangan pergi kemana-mana, katanya kemungkinan tinggal beberapa jam lagi.“ Lara lalu memelukku dan menangis sesenggukkan. Sepertinya ia sedih sekali. Ia akan sendirian lagi. Entah sampai kapan.

Aku mengusap punggung Lara lalu setelah Lara tenang kami berjalan kembali pulang. Padahal aku ingin sekali menenangkan diri di rumah sepi itu. tapi, mengingat menurut Nek Keira waktuku tinggal beberapa jam lagi, aku tidak bisa tidak pulang lagi.

--

Beberapa orang berkerumun di rumahku saat aku datang. Sekali lagi, pandangan-pandangan kasihan itu berlabuh padaku. Aku menundukkan kepalaku sampai masuk dan menemukan Nek Keira sedang duduk di sofa. Di sisinya sudah ada pakaian putih, pakaian yang biasanya dipakai para Fase yang sudah dalam waktunya. Kali ini pakaian itu untukku. Tiba-tiba jantungku berdebar dan darahku berdesir tak karuan. Perutku yang selama ini berada di tempatnya tiba-tiba terasa hilang begitu saja.

“Masamu sudah tiba, nak,“ kata Nek Keira pelan. Ia mengusap-usap punggungku lalu menyentuh jari-jariku yang entah sejak kapan sudah dipenuhi bintik-bintik biru.
Aku mengangguk. Entah untuk apa. Saat Nek Keira mengangsurkan pakaian putih itu, aku segera menerimanya lalu pergi ke kamarku dengan perasaan yang tidak karuan. Waktuku sudah tiba. Semua yang aku pertanyakan akan segera terjawab.

Peri atau kurcaci, akan menjadi apa aku selanjutnya? Akankah aku bertemu dengan ayah, ibu, kakakku, dan semua orang yang sudah terlebih dulu menjalani saat-saat misterius ini?

Aku merentangkan pakaian putih Nek Keira. Gaun putih selutut yang biasa. Aku memakainya lalu merias wajahku. Setidaknya, sebelum menjadi peri yang cerewet dengan wajah ajaib atau menjadi kurcaci dengan wajah penuh kerut, aku ingin tampil cantik di hari terakhirku, jam-jam terakhirku sebagai manusia. Tapi, sepertinya tidak bisa juga. Bagaimana bisa tampil cantik kalau wajahku penuh bintik biru?

Nek Keira menyambutku saat aku keluar dari kamar. Ia menatapku dalam. Rasanya aku bisa membocorkan rahasiaku begitu saja padanya. Segala ketakutan dan impian yang aku simpan, rasanya bisa aku beritahukan. Rasanya, melalui mata beriris coklat milik Nek Keira itu, aku bisa melihat petuah-petuah, petunjuk-petunjuk, dan kalimat “aku akan baik-baik saja.“ Aku mengangguk lagi, kali ini aku tahu kenapa. Anggukan ini adalah simbol kesiapanku menghadapi entah apapun itu.

Nek Keira menggamit lenganku. Langkah kami kecil-kecil namun tegas. Saat ke luar rumah, semua tetanggaku sudah berkumpul dan membelah kerumunan menjadi dua, memberiku dan Nek Keira jalan menuju tempat perubahanku. Di barisan terdepan kerumunan bisa kulihat Lara dan Auki di pangkuannya dan air mata di matanya. Ia tidak berbicara apapun, karena di saat-saat seperti ini, semua orang dilarang berbicara dan melakukan kontak fisik denganku. Nek Keira adalah pengecualian.

Nek Keira membawaku ke arah hutan. Hutan itu tempat yang sudah puluhan atau mungkin ratusan tahun para fase berubah. Menengadahkan kepala, tiba-tiba langit cerah tadi berubah mendung. Hujan dipastikan sebentar lagi akan turun. Aku akan berubah di tengah hujan. Apakah ini pertanda buruk?

Di gerbang masuk menuju hutan Nek Keira melepaskanku. Tubuhku seketika menggigil. Bukan karena kedinginan. Menyadari hal itu, Nek Keira mengusap pundakku lembut.

“Tak apa. Hadapi fasemu. Semoga kelak kita bertemu lagi ya, Opi. Berdoalah semoga nenek tua ini segera mendapatkan waktunya sendiri untuk jadi seorang Fase yang utuh,“ kata Nek Keira. Kata-katanya sedikit membuatku lebih baik. Tidak semua Fase bertemu dengan waktunya, contohnya Nek Keira. Bagi Nek Keira, apa yang akan aku alami ini adalah saat-saat yang paling ditunggunya.

Aku tersenyum pada Nek Keira lalu melangkah menuju gerbang, memasuki hutan tanpa berbalik ke belakang. Angin berhembus kencang dan kasar, rintik-rintik hujan mulai turun. Aku mempercepat langkah kakiku, masuk lebih dalam ke dalam hutan di mana pohon-pohonnya tumbuh merapat satu sama lain.

Hujan yang awalnya rintik berubah menjadi gerimis. Aku berhenti berjalan saat merasakan sakit di semua bagian tubuhku. Ini saatnya. Pertanyaan-pertanyaan, misteri-misteri yang selama ini berputar-putar di kepalaku akan segera terjawab. Rasa sakit di tubuhku terus terasa bertambah-tambah. Aku berusaha tidak berteriak. Tapi, pada satu titik, rasanya tidak mungkin tidak berteriak. Rasa sakit ini tidak pernah kurasakan. Aku heran bagaimana bisa ada rasa sakit sehebat ini. Tubuhku terasa ditusuk ribuan jarum tak kasat mata.

Beberapa saat, tubuhku mulai bercahaya. Awalnya aku ragu cahaya yang menyilaukan itu berasal dari tubuhku. Tapi, memang begitu. Bintik-bintik biru itu satu per satu berubah terang, bercahaya bersamaan dengan rasa sakit yang meningkat. Cahaya di tubuhku semakin terang sampai aku tak bisa melihat badanku sendiri. Aku bahkan tak tahu apa yang terjadi pada tubuhku. Yang kurasakan adalah seolah tubuhku membesar, sangat besar. Rasanya tangan dan kakiku, dan kepalaku terlalu jauh. Aku seperti melebar.

Saat rasa sakit itu mereda, aku merasa ditarik ke atas dengan cepat. Ke atas dan ke atas, terus melambung tinggi hingga bisa kulihat desaku, lalu gunung, lalu dataran hijau, lalu laut, lalu bulatan besar, lalu bulatan kecil, hingga kegelapan yang terserak di mana-mana. Kegelapan yang memenuhi setiap ruang yang aku lihat.

Aku sudah tidak bisa merasakan tubuhku lagi, tapi kini aku bisa melihat bagaimana rupa tubuhku. Aku yang sekarang bukanlah kurcaci ataupun peri. Aku sekarang adalah kumpulan gas. Tubuhku yang dulu padat kini sudah tercerai berai, berubah menjadi sesuatu yang seperti asap. Manusia Fase yang tinggal di kawasan maju menyebutnya gas. Sekarang aku adalah gas.

Tapi, bukan gas biasa. Aku bersinar di tengah kegelapan. Aku adalah bintang yang baru saja lahir di kegelapan. Para Fase adalah para bintang yang belum terlahir. Para bintang yang akan menghias gelap yang misterius. Aku rasa ini juga bukan akhir bagi para Fase. Aku rasa kami para Fase akan terus berubah. Entah menjadi apa lagi. Hal pasti yang aku mengerti sekarang adalah: misteri selalu ada di hidup kami dan sekarang aku sangat kesepian. Sebuah bintang yang kesepian.

---TAMAT---

Komentar

Postingan Populer